Hampir tidak ada satu orang pun yang menyangkal bahwa peradaban dibangun dari tulisan, dan kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi melalui tulisan. Tidak heran juga jika tulisan dianggap sebagai batas pemisah antara prasejarah dan sejarah. Banyak bukti dihadirkan tentang kekuatan tulisan. Selain kitab suci yang memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, begitu banyak tulisan yang memengaruhi jalannya sejarah. Tulisan perjalanan Ibnu Batutah dan Marcopolo, berhasil merangsang imaji jutaan manusia (Barat) saat itu tentang eksotisme dunia Timur. Berbekal catatan (tulisan) perjalanan tersebut, bangsa-bangsa Eropa berlomba-lomba mencari jalan ke Timur nan eksotis. Jules Verne, lewat fantasi ilmiahnya telah membangkitkan keberanian untuk berpetualang (sehingga melahirkan istilah Vernian). Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels misalnya, menandai lahirnya gerakan komunis di seluruh dunia. Bahkan Soekarno, pernah dipenjara oleh pemerintah kolonial hanya karena menyimpan tulisan Tan Malaka tentang Massa Aksi. Bahkan, ada yang bilang jika seandainya Alexandria tidak hancur saat itu (oleh serangan bangsa Mongol), mungkin Einstein akan dilahirkan satu abad lebih cepat. Demikian dahsyatnya kekuatan tulisan. Dan proses untuk menghasilkan tulisan adalah “menulis”.
Jika acuannya adalah kuantitas buku (tulisan) yang diterbitkan setiap tahun, mungkin budaya tulis di Indonesia dapat dianggap masih rendah. Bahkan, pada beberapa komunitas di Indonesia, tradisi lisan dan tutur lebih dominan daripada budaya tulis. Nilai moral, budaya dan sosial pada masyarakat tertentu masih diturunkan secara turun temurun melalui cerita, dongeng, pitutur, dan bentuk lain budaya lisan. Meskipun angka buta huruf relatif rendah, tetapi sistem pengajaran dan pendidikan di Indonesia masih belum memungkinkan masyarakat Indonesia untuk memiliki tradisi menulis yang kuat. Saat masyarakat Indonesia masih belum memiliki budaya tulis yang cukup kuat, Indonesia sudah digempur dengan budaya menulis 140 karakter melalui twitter, facebook, dan social media lainnya. Sehingga budaya yang belum terbangun itu harus jatuh bangun menghadapi budaya baru tersebut yang: instan, singkat, (terlalu) padat, tapi juga dangkal.
Mahasiswa, sebagai bagian dari kalangan intelektual, kegiatan menulis seharusnya menjadi kegiatan yang diakrabi sejak awal. Lewat tulisan, apa yang menjadi pemikiran mahasiswa dapat tersampaikan kepada khalayak luas, kemudian didiskusikan dan diperdebatkan menjadi sebuah wacana publik. Lewat tulisan pula, masyarakat dapat mengetahui kapasitas dan kualitas intelektual mahasiswa. Mahasiswa dapat menggunakan kekuatan tulisan (selain aksi nyata tentunya) untuk terlibat aktif dalam persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan: merumuskan masalah dengan tepat, mendiskusikan metode yang tepat, serta menawarkan solusi untuk penyelesaian masalah-masalah tersebut. Tentu saja, tulisan sebagai sebuah manifestasi ide, terbuka untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Kampus adalah kawah candradimuka untuk mengasah kemampuan intelektualitas mahasiswa, dan tulisan adalah salah satu jendela yang menghubungkan dunia kampus dengan masyarakat.
Bagaimana caranya menulis? Yang pertama dan utama adalah mulai membiasakan menulis tentang apa saja dan di mana saja. Tidak berhenti hanya menulis 140 karakter, tapi juga dikembangkan menjadi sebuah pemikiran yang mendalam. Inspirasi untuk membuat tulisan sangat banyak ditemui di sekitar kita. Sebagaimana disinggung di awal, bahwa Indonesia adalah laboratorium alam yang kaya akan sumber inspirasi. Sehingga, seharusnya tidak ada kesulitan ketika hendak mulai menulis, tinggal menyesuaikan dengan apa yang menjadi minat mahasiswa. Yang berminat di bidang energi, dapat menulis tentang energi. Namun untuk membuat tulisan yang baik dan berbobot, ada dua hal yang perlu dilakukan oleh mahasiswa. Pertama, adalah memperkaya bahan bacaan. Di sini, aktifitas membaca beragam literatur, baik buku, jurnal, majalah, sumber daring, koran, dan sebagainya menjadi sebuah keniscayaan. Penguatan wacana melalui bahan bacaan akan mempertajam pisau analisis yang digunakan mahasiswa dalam mengamati, menganalisis, dan menyikapi fenomena di sekitar mahasiswa. Mahasiswa tidak boleh malas membaca semua sumber yang ada. Spektrum pemikiran mahasiswa haruslah luas. Memandang persoalan dari berbagai sisi agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Yang kedua, adalah dengan melibatkan diri dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan. Pendekatan ini adalah pendekatan partisipatoris/emanispatoris, di mana batas antara subjek-objek pengetahuan semakin kabur, dengan tetap menjaga onjektifitas. Titik pijak mahasiswa dalam berpikir adalah kebenaran ilmiah. Dengan merasakan secara langsung apa yang menjadi persoalan masyarakat, sambil melakukan abstraksi-abstraksi pemikiran atas persoalan tersebut, mahasiswa akan menemukan mata air pengetahuan dan memformulasikannya dalam bentuk tulisan yang berbobot. Mahasiswa bukanlah sosok yang hidup dalam menara gading kehidupan dan berlepas diri dari persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Idiom bahwa mahasiswa adalah agent of change, predikat yang melekat pada sosok mahasiswa, menjadikan keterlibatannya dalam persoalan masyarakat bersifat imperatif.
Musuh mahasiswa terbesar adalah dirinya sendiri, selain persoalan struktural yang menghimpit dirinya sendiri. Problem struktural hanya bisa dilakukan bila mahasiswa merapatkan barisan membentuk massa aksi melawan struktur yang menindas tersebut. Itupun jika mahasiswa menyadari bahwa ada struktur yang menghimpit dirinya. Dari dalam dirinya, musuh terbesar mahasiswa adalah saat mahasiswa merasa dirinya sebagai kelas sosial yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Apabila mahasiswa merasa dirinya adalah bagian dari kelas elit, kelas menengah ke atas, pada gilirannya akan membuat mahasiswa menarik diri dari persoalan masyarakat, menarik batas yang jelas antara dirinya dan rakyat, serta tidak mau tahu dengan problem riil masyarakat. Apalagi, jika kemudian sistem pendidikan yang dijalani (yang sudah terkooptasi terkodifikasi oleh struktur diatasnya) telah berhasil menjauhkan mahasiswa dari rakyat, menjauhkan calon pemimpin dengan rakyatnya. Lengkap sudah. Lantas bagaimana? Mungkin mahasiswa perlu melakukan “bunuh diri kelas”, dengan membuang jauh-jauh perasaan bahwa dia (mahasiswa) adalah kelas elit dan dengan sukarela memakai baju kelas proletar atau mustadh’afin, kelas masyarakat yang mayoritas di negeri ini, sekaligus minoritas di negeri ini (dalam konteks pemerataan kesejahteraan). Bukankah Rasulullah sepanjang hidupnya memperjuangkan mereka-mereka yang termarjinalkan, yang terpinggirkan, dan termiskinkan tersebut?
Wallahu a’lam bisshawab
Oleh : Laila (Anggota Kamase Generasi IX)
Waahh…nice article.. tapi kok ada paragraf yang dobel ya?? 😆
Okelahhhh
terimakasih mas untung 🙂
prestasinya untung dibuat tulisan yak
Mantap kali Mbak… terkadang kita juga terlalu terlena berada di zona nyaman sebagai mahasiswa, sehingga lupa bahwa ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang tidak mendapatkan akses pengetahuan/pendidikan. Mungkin kita juga terlalu menutup diri untuk peduli bahwa masih banyak daerah-daerah pedalaman, perbatasan, pulau-pulau kecil yang belum mandiri baik dari segi energi, infrastruktur, pendidikan, dll sampai-sampai malah negara asing yang lebih peduli. Kayaknya keren nih, kalo kamase bikin buku 😆
mungkin tentang keadaan dan potensi daerah-daerah pedalaman, perbatasan, pulau-pulau kecil yang belum mandiri itu biar pemerintah tau lalu kemudian peduli.
Padamu negeri, kami berbakti…. hehehehe lagi semangat nyiapin KKN nih…
wah ide bagus tuh dit, bikin buku :)|
monggo segera di eksekusi