Oleh: Elsa Tri Faujia, Ismu Rijal Fahmi, Jordan Hendrawan S, dan Satriagung Purwoko.
Perubahan iklim merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Permasalahan ini bermula saat revolusi industri pada tahun 1830an [1]. Karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas nitrogen oksida (N2O) adalah tiga kontributor utama gas rumah kaca [2]. CO2 adalah gas rumah kaca yang diproduksi oleh manusia dan memiliki kontribusi terbesar, mencapai 64% terhadap total peningkatan efek pemanasan global [2]. Kandungan CO2 di atmosfer telah naik sebesar 39% dari masa pra-industri yang terjadi sekitar tahun 1750 [2]. Berdasarkan kebijakan yang telah diterapkan, emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan akan meningkat hingga 1,573 dan 1,751 MtCO2e (metrik ton karbon dioksida ekuivalen) pada tahun 2030 di luar sektor kehutanan [2].
Berbagai cara telah dilakukan untuk setidaknya memperlambat laju perubahan iklim ini, baik secara preventif maupun secara represif. Cara-cara preventif telah dimulai sejak lama dan terus berkembang, seperti peningkatan efisiensi mesin pembakaran, penggunaan energi terbarukan, konversi kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik, dan sebagainya. Di samping itu, terdapat cara-cara represif yang baru-baru ini dikembangkan, seperti Carbon Capture and Storage (CCS) dan konversi CO2 menjadi etanol.
CCS (Carbon Capture and Storage)
CCS melibatkan empat proses utama, yaitu penyerapan, pengiriman, penyimpanan, serta pengukuran, pengawasan, dan verifikasi [3]. Penyerapan meliputi penyerapan, dehidrasi, dan kompresi CO2. Pengiriman meliputi pengiriman CO2 dengan truk tangki, pipa, atau kapal ke tempat penyimpanan. Penyimpanan meliputi injeksi CO2 ke tempat penyimpanan yang aman dan permanen, seperti dalam tanah atau laut. Pengukuran, pengawasan, dan verifikasi dilakukan untuk memastikan bahwa penyimpanan CO2 dalam kondisi aman.
Apabila ditinjau dari metodenya, CCS dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu absorpsi kimia, adsorpsi, pemisahan dengan membran, dan distilasi kriogenik [4]. Perbandingan keempat metode tersebut ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1. Komparasi deskriptif metode CCS [4].
Metode | Mekanisme | Kelebihan | Kekurangan |
Adsorpsi | CO2 diserap menggunakan adsorben padat seperti karbon aktif, zeolit, Na2CO3, CaO, dll. | Rendah sampah | Tidak efisien dalam hal penggunaan energiPerlu dilakukan pretreatment pada flue gas sebelum dialirkan ke adsorben karena kelembapannya yang tinggi dan adanya kontaminan seperti SOx dan NOx |
Penyerapan CO2 menggunakan metal-organic frameworks (MOFs) | Memiliki kristalinitas, porositas, dan luas permukaan yang tinggi | MOFs bubuk memiliki kekuatan mekanis yang rendah dan perlu perlakuan khusus | |
Absorpsi kimiawi | Berdasarkan adsorpsi dan desorpsi kimiawi menggunakan pelarut, seperti etanolamina (MEA), serta amina dan kalium hidroksida (KOH). | Memiliki daya larut yang kuat terhadap CO2 | Pelarut dapat dengan mudah menguapBereaksi dengan komponen lain selain CO2, seperti SO2 sehingga pelarut bersifat sekali pakai, atau membutuhkan energi yang besar untuk memurnikannya kembaliBersifat korosif |
Cairan ionik untuk absorpsi CO2. | Lebih aman untuk lingkungan karena bukan merupakan zat yang berbahaya | Harganya mahalSulit untuk dibangun dalam skala besar | |
Teknologi membran | Pemisahan CO2 dari aliran utama dengan melewatkannya melalui membran semipermeabel. | Efisiensi pemisahan yang tinggiTidak memerlukan tempat yang luas | Memerlukan energi yang besar untuk mendinginkan flue gasRentan terhadap flue gas dengan kelembaban yang tinggiMembutuhkan biaya yang tinggi untuk mengganti membran |
Distilasi kriogenik | Pendinginan dan kondensasi bertingkat untuk memisahkan CO2 dari gas lain yang memiliki titik didih berbeda. | Efisiensi penyerapan yang tinggi, mencapai 99,9% | Membutuhkan energi yang besar untuk pendinginanPengurangan kelembaban flue gas diperlukanCO2 padat terbentuk pada permukaan heat exchanger sehingga perlu dibersihkan |
Saat ini mayoritas CCS diterapkan pada pembangkit listrik dan industri. Penerapan CCS pada pembangkit listrik dan industri dirasa penting karena berkontribusi berturut-turut sebesar 40% dan 23% emisi karbon global pada tahun 2018 [5].
Hingga saat ini, terdapat dua proyek CCS pada pembangkit yang sudah beroperasi. Kedua CCS tersebut adalah Boundary Dam di Saskatchwan, Kanada (beroperasi sejak 2014) dan Petra Nova di Texas, Amerika Serikat (beroperasi sejak 2017) [6] [7]. CCS Boundary Dam mampu memproses 90% emisi CO2 yang dihasilkan oleh pembangkit listrik batu bara berkapasitas 115 MW [6]. Petra Nova mampu memproses CO2 sebanyak 1,4 megaton setiap tahunnya. CO2 tersebut kemudian digunakan untuk mengekstrak minyak yang pada awalnya tidak dapat diekstrak (Enhanced Oil Recovery (EOR)) [7]. Proyek CCS juga mengalami perkembangan yang signifikan karena terdapat 20 CCS yang berada dalam tahap pembangunan [7]. Sebelas CCS tersebut berada di Amerika Serikat, tiga di Cina, tiga di Inggris, dan masing-masing satu di Irlandia, Korea, dan Belanda [7]. Persebaran proyek CCS pada pembangkit dapat dilihat pada Gambar 1.
Di bidang industri, telah terdapat 19 proyek CCS berskala besar dalam tahap operasi hingga tahun 2020 [8]. Proyek tersebut tersebar di berbagai negara, berupa dua proyek di Kanada, delapan proyek di Amerika Serikat, satu proyek di Brazil, dua proyek di Norwegia, satu proyek di Arab Saudi, satu proyek di Uni Emirat Arab, satu proyek di Cina, dan satu proyek di Australia [8]. Di Cina, juga terdapat proyek CCS yang dalam tahap pembangunan, dan diharapkan beroperasi pada tahun 2020 atau 2021 [8]. Persebaran proyek CCS di industri ditunjukkan oleh Gambar 2.
Dalam pengembangannya ke depan, terdapat beberapa tantangan CCS, di antaranya tantangan teknologi, tantangan integrasi, tantangan penerimaan publik, dan tantangan legalitas. Tantangan teknologi berfokus pada peningkatan efisiensi dengan harga yang murah [9]. Hingga saat ini, belum ditemukan adanya batasan teknis untuk CCS yang menyatakan bahwa 90% merupakan efisiensi maksimal penyerapan CO2, sehingga peningkatan pemahaman tentang modifikasi lebih lanjut dapat meningkatkan kemampuan penyerapan CO2 [7]. Sebuah studi dari International Energy Agency Greenhouse Gas (IEAGHG) menyatakan bahwa peningkatan kemampuan penyerapan dari 90% ke 99% menggunakan metode kimiawi hanya menyebabkan peningkatan biaya 4% untuk pembangkit listrik batu bara dan 10% untuk pembangkit listrik gas [7].
Tantangan integrasi berupa pembuatan sistem terintegrasi CCS dari berbagai pembangkit perlu dilakukan agar dapat menekan biaya investasi. Salah satu solusi tantangan tersebut adalah pembuatan pipa CO2 di antara pembangkit-pembangkit sehingga dapat dibangun sistem CCS bersama dalam skala yang besar [9]. Tantangan penerimaan publik dapat diatasi dengan publikasi hasil riset kepada masyarakat, organisasi, industri, pemangku kebijakan, dan pihak-pihak lain yang terkait [9]. Beberapa permasalahan yang menjadi alasan penolakan CCS oleh organisasi non-pemerintah adalah kebocoran CO2 dari penyimpanannya, peningkatan harga listrik, dan perbandingannya dengan solusi lingkungan lain berupa pengembangan energi terbarukan [9]. Tantangan legalitas berupa pembuatan payung hukum terkait sistem CCS, seperti proses penangkapan CO2 pada proses transportasi, proses penyimpanan, regulasi investasi, dsb. [9].
Konversi CO2
Penelitian dan perkembangan dalam konversi CO2 sedang digalakkan sebagai upaya untuk mengurangi emisi CO2. Oleh karena CO2 merupakan molekul stabil, konversi menjadi molekul lain memerlukan energi besar dan biaya tinggi [10]. Salah satu penelitian terbaru dari tim riset Argonne National Laboratory US Department of Energy berkolaborasi dengan Northen Illinois University, yang baru saja dipublikasikan pada 27 Juli 2020, menemukan elektrokatalis baru yang mampu mengkonversi karbondioksida dan air menjadi etanol dengan efisiensi energi, dan selektivitas tinggi, serta dengan biaya rendah [10].
Penelitian ini menggunakan cara konversi elektrokimia langsung CO2 dari emisi buangan proses industri menjadi etanol dengan katalis carbon-supported tembaga (Cu) yang disintesiskan oleh metode amalgam Cu-Li. Katalis terdiri dari tembaga yang terdispersi atomik pada bubuk karbon. Katalis ini memecah molekul CO2 dan air menggunakan reaksi elektrokimia, kemudian secara selektif menyusun kembali molekul tersebut menjadi etanol dalam medan listrik [11].
Salah satu peneliti, Liu, mengatakan bahwa metode konversi CO2 ke etanol ini dapat di-couple ke grid dan menggunakan listrik yang tersedia dari sumber energi terbarukan, seperti panel surya maupun angin saat di luar beban puncak (off-peak) [10]. Selain itu produk ini juga memiliki keunggulan, yaitu nilai efisiensi faradaic (FE) yang mencapai 90 % [10]. Bahan bakar ini juga dapat menjadi lebih murah dengan cara mengurangi biaya sistem dan operasi dengan meningkatkan kepadatan arus dan daya tahan katalis [10].
Penggunaan CO2 sebagai bahan bakar dalam bentuk etanol berpeluang besar meningkatkan dan mengkomersilkan solusi penangkapan karbon yang mampu menangkap CO2 dari berbagai aliran gas buang. Gas karbon dioksida akan diubah menjadi bahan bakar yang dapat dibakar tanpa menghasilkan produk sampingan beracun dan digunakan sebagai sumber energi bersih. Dengan begitu, teknologi ini berperan dalam mengurangi emisi CO2 dari industri dan pembangkit listrik yang berdampak buruk bagi lingkungan. Hal ini tentunya akan menjadi langkah besar menuju pengembangan industri dan pembangkit listrik tanpa merusak lingkungan.
Penelitian ini membuka peluang lebih jauh dalam pengurangan emisi karbon. Masih banyak hal yang menjadi tantangan, seperti efisiensi energi, waktu reaksi, persoalan tentang mengambil buangan CO2, dan membersihkan impuritas buangan yang ada [11]. Terlebih lagi, untuk memasuki skala industri, faktor ekonomi juga harus dipertimbangkan.
Daftar Pustaka
[1] | H. Gastineau, “The Industrial Revolution Kick-Started Global Warming Much Earlier than We Realised,” The Conversation, 2016. [Online]. Available: https://theconversation.com/the-industrial-revolution-kick-started-global-warming-much-earlier-than-we-realised-64301. [Diakses 31 Agustus 2020]. |
[2] | ProOxygen, “Global Carbon Emissions,” 2020. [Online]. Available: https://www.co2.earth/global-co2-emissions. [Diakses 31 Agustus 2020]. |
[3] | J. A. Nugent, Prospects for Carbon Capture and Storage in Southeast Asia, Mandaluyong City: Asian Development Bank, 2013. |
[4] | J. Singh dan D. W. Dhar, “Overview of Carbon Capture Technology: Microalgal Biorefinery Concept and State-of-the-Art,” Frontiers in Marine Science, vol. 6, no. 29, 2019. |
[5] | IEA Secretariat, The Role of CCUS in Low-Carbon Power Systems, Paris: International Energy Agency, 2020. |
[6] | SaskPower, “Boundary Dam Carbon Capture Project,” SaskPower, 2020. [Online]. Available: https://www.saskpower.com/Our-Power-Future/Infrastructure-Projects/Carbon-Capture-and-Storage/Boundary-Dam-Carbon-Capture-Project. [Diakses 24 Agustus 2020]. |
[7] | IEA Secretariat, “CCUS in Power,” International Energy Agency, 2020. [Online]. Available: https://www.iea.org/reports/ccus-in-power. [Diakses 24 Agustus 2020]. |
[8] | IEA Secretariat, “CCUS in Industry and Transformation,” International Energy Agency, 2020. [Online]. Available: https://www.iea.org/reports/ccus-in-industry-and-transformation. [Diakses 24 Agustus 2020]. |
[9] | International Energy Agency, Prospects for CO2 Capture and Storage, Paris: IEA Publications, 2004. |
[10] | J. E. Harmon, “Turning Carbon Dioxide into Liquid Fuel,” Argonne National Laoratory, 2020. [Online]. Available: https://www.anl.gov/article/turning-carbon-dioxide-into-liquid-fuel. [Diakses 20 Agustus 2020]. |
[11] | H. Xu, D. Rebollar, H. He, L. Chong, Y. Liu, C. Liu, C.-J. Sun, T. Li, J. V. Muntean, R. E. Winans, D.-J. Liu dan T. Xu, “Highly Selective Electrocatalytic CO2 Reduction to Ethanol by Metallic Clusters Dynamically Formed from Atomically Dispersed Copper,” Nature Energy, 2020. |