Pertamina siap memproduksi dan menjual biodiesel dari bahan dasar minyak kelapa sawit atau CPO (crude palm oil). Biodiesel adalah salah satu jenis bahan bakar hayati non fosil (biofuel) yang sedang digalakkan Pemerintah pemakaiannya melalui Perpres No. 5 Tahun 2006 dan Inpres No. 1 Tahun 2006. Bahan bakar ini secara bertahap akan mengurangi peran solar. Dengan kualifikasi biodiesel B-5 yang diluncurkan 20 Mei 2006 ini, biodiesel bermerek Bio-Solar tersebut mengandung lima persen CPO yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dan 95 persen solar murni bersubsidi. Dengan formula seperti itu, untuk tahun 2006 ada penghematan impor solar sebanyak 720.000 kiloliter.
Ini adalah proyek untuk solusi bangsa di bidang energi.Tak berlebihan, karena dengan langkah Pertamina ini berarti Indonesia pada 20 Mei 2006 ini telah memulai sesuatu yang bersejarah, yaitu mengembangkan energi alternatif yang memiliki multiplier effect secara ekonomi dan ketahanan bangsa di sektor energi.
Memilih tanggal 20 Mei 2006 sebagai tanggal peluncuran produk perdana ini, pasti tak dilepaskan dari semangat historis kebangkitan bangsa pada 20 Mei 1908 oleh organisasi Budi Utomo.
Boleh jadi meluncurkan produk Bio Solar merupakan langkah kita menuju alam yang bebas krisis, atau kalau perlu menuju alam yang membawa kembali kejayaan bangsa. Nilai dan semangat di balik peluncuran ini yang tidak boleh diabaikan dan dipandang sebelah mata. Parameternya adalah langkah nyata dan bersemangat problem solving.
PROBLEM ENERGI NASIONAL
Tak hanya Indonesia yang dipaksa berpikir untuk mengabil langkah strategis, berjangka panjang, berkesinambungan, di seputar masalah kebijakan energi. China yang mengonsumsi minyak 6,5 juta bph pada tahun 2004 dan diperkirakan memakai 10,5 juta bph pada tahun 2020, sedang melalukan “revolusi” energi. Juga AS, negeri-negeri Eropa, dan sejumlah negara Asia seperti Jepang, Thailand, dan India.
Kalau tidak direm, konsumsi minyak oleh bangsa Indonesia bisa melonjak tajam. Ada pakar yang mencatat prediksi kebutuhan BBM dalam negeri pada tahun 2010 sekitar 1,6 juta bph. Kebutuhan ini ekivalen dengan minyak mentah 2 juta bph.
Apa yang dicatat oleh sang pakar memang belum terjadi, tetapi kalau trend konsumsi BBM oleh bangsa ini tidak direm, kemungkinan krisis energi minyak tidak mustahil terjadi. Karena kebutuhan energi adalah bersifat kebutuhan primer dan selalu beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan perkiraan tingkat pertumbuhan ekonomi Nasional yang terus dipacu dan terus membaik, maka tingkat konsumsi energi akan ikut terdongkrak.
Energi memang tak hanya minyak bumi. Namun kalau melihat pola konsumsi minyak bumi yang masih dominan, maka gerakan klimaks konsumsi BBM dalam negeri tidak gampang distop.
Dengan teori berpikir seperti ini kita bisa menerima angka prediksi kalau impor minyak mentah Indonesia akan melonjak di atas 400 ribu bph. Padahal saat ini “hanya” sekitar 0,400 juta bph.
Menutupi demand minyak bumi yang terus melonjak dengan opsi menaikkan tingkat produksi crude Nasional untuk dalam kondisi sekarang tidaklah gampang, untuk tidak mengatakan tidak mungkin. Faktanya booming minyak bumi di negeri kita seperti tahun medio 1970-an dan awal 1980-an agaknya belum terbayangkan terjadi lagi.
Tingkat produksi Nasional terus melorot sejak 2000. Bahkan sempat menyentuh sedikit di bawah satu juta bph, walaupun kemudian berusaha didongkrak menggenapkan lagi ke angka satu juta bph, dan ditargetkan 1,3 juta bph pada tahun 2006 ini.
Penemuan cadangan baru memang sempat memberikan harapan, bahwa posisi net oil importer akan bisa diperbaiki, dan kembali mengekspor. Tapi dengan berpikir realistis bahwa karakteristik energi fosil pada akhirnya harus habis, bangsa Indonesia tetap saja harus mempersiapkan diri mengantisipasi kondisi memilukan, minyak bumi habis dari perut bumi kita.
Menemukan kembali giant field minyak mentah kita? Kepala kita akan menggeleng sebagai jawaban. Kenyataannya sejak ditambang secara komersial pada tahun 1885 oleh bangsa asing dan dimanfaatkan mereka hingga 1945, sumber minyak bumi di perut Nusantara sudah “lelah.”
Ironisnya kita masih berboros-boros ria dengan BBM yang murah (gara-gara harga subsidi). Sebagian dari komponen bangsa ini seperti tidak menyadari potensi masalah besar di sektor energi sedang dihadapi. Sehingga opsi menurunkan subsidi BBM secara bertahap gencar dipolitisasi. Ditentang, dikritik, dan dihujat. Padahal menurunkan subsidi secara bertahap sudah diputuskan Pemerintah dan DPR melalui UU No. 5 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Bangsa AS saja sudah dikukuhkan oleh UU energi mereka, US Energy Act 2005, untuk mengurangi pemakaian bensin sebesar 1,0 juta bph pada tahun 2015 (Kompas, 20/8/05). Bahkan diberitakan, atas perintah Presiden Bush, program-progam khusus di Departemen Energi AS dikonsentrasikan untuk mengganti lebih dari 75 persen impor minyak AS dari Timur Tengah pada tahun 2025 (Kompas, 5/5/06).
Ada langkah-langkah cerdas yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain. Mereka seperti mengerti kapan bersatu padu mengatasi masalah besar bangsa, kapan mereka berseberangan secara politik dengan pemerintah. Perahu bocor diatasi bersama. Konflik kepentingan di atas perahu bocor hanya akan menenggelamkan seluruh penumpang perahu.
Sementara China membangun energy security melalui investasi besar-besaran di proyek eksplorasi dan pengembangan di berbagai negara lain. Negeri tirai bambo ini membentuk “balatentara” untuk melaksanakan misi ini, yaitu membentuk tiga BUMN minyak skala besar pada tahun 1980-an.
Ada The China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), The China National Petrchemical Corporation (Sinopec), dan The China National Petroleum Corporation (CNPC). Ketiga BUMN ini menjadi lokomotif Chinauntuk memenuhi security of supply energi minyaknya.
Braziladalah contoh lain betapa negeri itu berhasil mengembangkan bioethanol dengan memanfaatkan sari tebu. Dan ketika sejumlah negara menjerit dan berteriak karena masalah eneri, negeri Samba ini tersenyum dengan energi alternatifnya.
Indonesiasebenarnya boleh dikatakan melakukan langkah cerdas. Strategi menghidupkan bahan bakar dari unsur hayati non fosil berarti memanfaatkan kelebihan alamnya yang kaya dengan unsur-unsur hayati. Tidak mustahil, dari pengembangan biodiesel berbahan dasar CPO saja membuka kemungkinan negara ini menjadi produsen CPO terbesar di dunia, menyalip Malaysiayang kali ini sebagai produsen CPO terbesar di dunia.
BUMN-BUMN bidang perkebunan, yaitu PTPN diperkirakan akan hidup subur karena CPO-nya selain diekspor bisa dijadikan bahan dasar biodiesel. Tak mustahil, Indonesiamelalui Pertamina kelak akan mengekspor biodiesel ke negeri-negeri yang membutuhkan energi besar seperti China, AS, dan India.
Ini adalah mimpi dan optimisme kita. Tak ubahnya mimpi para pendiri bangsa ketika beberapa puluh tahun sebelum proklamasi sudah tersenyum dengan imajinasi mereka memiliki negeri yang merdeka bebas dari penjajahan. Bukankah mereka berhasil mewujudkan mimpinya?
Oleh karena itu, maaf, untuk program besar seperti Kebijakan Energi Nasional yang ditetapkan awal 2006 tak seharusnya “dikoyak-koyak” lagi oleh publik, seperti nasib kebijakan mengurangi subsidi BBM (melalui penentangan public atas kenaikan harga BBM). Perahu kita di sektor energi sudah berlobang. Mari kita tutupi lobang itu bersama-sama tanpa melihat perbedaan aliran politik dan faham.
Kebebasan berpendapat yang “liar” sebagai konsekuensi alam demokrasi sudah saatnya untuk kita letakkan secara arif agar urusan urgen dan strategis, yang menyangkut program keselamatan bangsa pada masa depan, tidak berantakan oleh kekuatan kita sendiri. Demokrasi yang tetap memperhatikan kepentingan lebih besar yang bersifat strategic problem solving bangsa.
ARTI PENTING BIODIESEL
Opsi mengalihkan konsumsi energi dari jenis energi fosil yang tidak bisa diperbarui (unrenewable energy) ke jenis energi hayati non fosil yang bisa diperbarui (renewable energy) bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena asumsi yang ada sudah tak terbantahkan, yaitu energi fosil akan habis pada saatnya.
Cukup aman, karena jenis energi terbarukan ini memiliki sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Sebutlah misalnya, panasbumi, biofuel, aliran sungai, panas surya, angina, ombak laut, dan suhu kedalaman laut.
Dari sederet jenis energi yang terbarukan itu Pertamina bergerak di dalam salah satunya, yaitu panasbumi. Nah, sekarang Pertamina bergerak lagi ke energi yang terbarukan jenis yang lain, yaitu biofuel. Salah satu biofuel yang digarap Pertamina adalah biodiesel, yaitu bahan bakar diesel yang terbuat dari unsur hayati-nabati non fosil.
Seperti diketahui, biofuel itu ada yang dibuat dari minyak nabati seperti minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palam Oil) dan minyak pohon jarak pagar atau CJCO (Crude Jatropha Curcas Oil), dibuat dengan proses transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya merupakan proses yang mereaksikan minyak nabati (CPO atau CJCO) dengan methanol dan ethanol dengan katalisator soda api (NaOH atau KOH).
Dari hasil proses transesterifikasi CPO itu akan dihasilkan metil ester asam lemak murni (FAME). Lalu FAME tersebut di-blending dengan solar murni selama 10 menitan, menghasilkan biodiesel yang siap pakai. Itulah biofuel jenis biodiesel! Biodiesel penggunaannya adalah untuk menggantikan solar.
Kalau untuk kebutuhan minyak goreng, CPO tidak mengalami transesterifikasi, melainkan mengikuti proses pemurnian, sehingga warna keruh CPO itu menjadi “terang-benderang.” Itulah minyak goreng!
Biodiesel memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan bentuk energi lain. Lebih mudah ditransportasikan; memiliki kerapatan energi per volume yang lebih tinggi; memiliki karakter pembakaran yang relatif bersih; dan ramah lingkungan.
Kelemahannya tak cocok dipakai untuk kendaraan bermotor yang memerlukan kecepatan dan daya, karena biodiesel menghasilkan tenaga yang lebih rendah dibandingkan solar murni.
Jenis biofuel lain adalah bioethanol. Dibuat dari tanaman yang mengandung gula dan pati seperti tebu, singkong, sagu, dan sorgum. Bahan-bahan ini yang diubah menjadi ethanol. Bioethanol itu yang berhasil dikembangkan Brazildengan memanfaatkan tetes tebu. Bioethanol digunakan untuk menggantikan bensin.
Bioethanol bisa digunakan dalam bentuk neat 100 persen (E-100). Atau di-blending dengan bensin (E-XX).
Sedangkan biofuel yang sudah banyak dipraktekkan oleh sementara lapisan masyarakat di daerah peternakan adalah biogas. Bahannya adalah limbah cair, limbah kotoran ternak, dan bahkan kotoran manusia. Bentuknya adalah gas. Bisa menggantikan minyak tanah.
Sebenarnya biogas ini ada yang memasukkan ke dalam keluarga biomassa yang menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia adalah massa tumbuhan dan kotoran hewan yang dapat memberikan energi, baik dengan dibakar langsunbg, maupun setelah diubah menjadi bahan lain yang pembakarannya lebih mudah.
Jadi, biogas diperoleh dari bahan biomassa hasil peragian oleh mikroorganisme tanpa adanya oksigen. Contoh bahan biomassa yang sering dipakai adalah kayu atau limbah kayu, produk atau limbah pertanian, ganggang, eceng gondok, kotoran ternak, dan lain-lain.
Burhani Rahman (Kompas, 8/6/05) menulis, bahwa bahan bakar ini dibuat dari limbah kotoran ternak, bahkan tinja manusia. Bahan-bahan itu dicampur dengan potongan jerami, sekam, dan daun-daunan sortiran sayur, dan lain sebagainya.
Biogas cocok dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki biomassa melimpah, terutama di sentra-sentra produksi padi dan ternak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain.
Kembali ke soal biodiesel. Arti penting pemanfaatan biodiesel antara lain menyangkut kebutuhan solar untuk transportasi yang terus meningkat. Tahun 2006 ini saja sudah mencapai 12,438 juta kiloliter. Sehingga dengan pengembangan biodiesel, maka impor solar akan sedikit demi sedikit bisa dikurangi. Ada penghematan devisa negara.
Ketika laju konsumsi BBM sulit direm, maka mensubstitusi BBM dengan biofuel akan memperingan beban impor BBM. Di tengah melonjaknya harga crude sampai 74 dolar AS per barel (per akhir April 2006), penghematan impor BBM akan sangat berarti bagi kondisi cash flow Pemerintah. Karena ketika volume impor BBM dan crude meningkat, maka beban keuangan Negara pun semakin dibuat cekak.
MENGURANGI KONSUMSI BBM
Pengembangan biodiesel oleh Pertamina menempati posisi strategis dalam memperkuat implementasi kebijakan Pemerintah untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak fosil. Perpres No. 5 Tahun 2006 menargetkan peningkatan pemanfaatan gas bumi lebih dari 30 persen. Saat ini masih kecil, sekitar 26,5 persen terpakai.
Demikian batubara, harus melonjak tingkat konsumsinya ketimbang gas bumi sekalipun. Perpres menetapkan konsumsi batubara harus menjadi lebih dari 33 persen. Sekarang batubara baru dipakai orang Indonesia hanya 14,1 persen saja.
Intinya energi alternatif masih begitu rendah tingkat konsumsinya, dan arah kebijakan Pemerintah adalah meningkatkan volume pemakaian non BBM tersebut.
Panasbumi yang begitu melimpah ditargetkan harus melebihi lima persen. Sedangkan energi terbarukan lainnya (biomasssa, nuklir, tenaga air skala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin) diharapkan menjadi lebih dari lima persen.
Dan terakhir, bahan bakar lain yang berasal dari pencairan batubara ditargetkan harus menjadi lebih dari dua persen.
Ada empat kebijakan utama Pemerintah untuk mencapai keamanan pasokan energi dalam negeri serta berbagai sasarannya. Dari mulai penyediaan energi; pemanfaatan energi; penetapan harga energi ke arah harga keekonomian; maupun pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Salah satu contoh dari kebijakan pemanfaatan energi adalah melalui diversifikasi energi, yaitu penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagia sumber energi dalam rangka optimalisasi penyediaan energi.
Dalam kerangka diversifikasi energi lah pengembangan biodiesel dilakukan oleh Pertamina. Tinggal bagaimana bentuk insentif dari Pemerintah agar para pelaku pengembangan penyediaan dan pemanfaatan biofuel tidak merugi dan tetap bergairah. “Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan insentif kepada pelaksana konservasi energi dan pengembang sumber energi alternative” (Pasal 6 Perpres No. 5 Tahun 2006).
Diambil dari : www.pertamina.com