Yose A Farasi

Peraih 1st Appreciation Award INAGA-IIGCE 2013

Panas bumi merupakan sumber daya energi baru terbarukan yang ramah lingkungan (clean energy) dibandingkan dengan sumber energi fosil. Berdasarkan data Badan Geologi Nasional Indonesia (NGAI), potensi panas bumi sekitar 28.994 MWe (setara dengan 13 miliar minyak, ini yang merupakan terbesar di dunia). Ada 256 daerah potensial panas bumi, 84 lokasi terletak di Sumatera, 76 lokasi terletak di Jawa, 51 lokasi terletak di Sulewesi, 21 lokasi terletak di Nusa Tenggara, 3 lokasi terletak di Papua, 15 lokasi terletak di Maluku, dan 5 lokasi terletak di Kalimantan (Surya, 2010). Dari total potensi tersebut hanya 4 % (1.196 MWe) yang telah dimanfaatkan sebagai energi listrik dan menyumbang sekitar 2% dalam pemakaian energi listrik nasional. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) No.2/2010 disebutkan pembangkit tenaga listrik yang akan dikembangkan hingga 2014 dari total kapasitas 10.153 MW, panas bumi (geothermal) dimanfaatkan sebesar 39 persen dari komposisi energi primer dalam proyek pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap II.

Namun, realisasi sebagian besar proyek pembangunan pembangkit listrik panas tidak berjalan sesuai rencana. Masalah yang sering muncul dalam pengembangan panas bumi diinventarisir dalam 5 isu strategis yaitu, 1) data belum memadai (teknis), 2) panjangnya tahapan prosedur PSP, 3) tumpang tindih lahan kehutan, 4) investasi kurang menarik, 5) harga belum mencapai keekonomian, 6) negosiasi membutuhkan waktu yang lama, maka perlu dicari solusi pada masing-masing isu strategis. Salah satu solusi terkait dengan masalah harga jual listrik yang belum mencapai keekonomian dan investasi yang kurang menarik adalah dengan menetapkan Feed in Tarif (FiT) regional dan perlunya insentif pajak dari pemerintah untuk menarik para investor dalam pengembangan panas bumi.

Harga jual listrik yang belum mencapai keekonomian.

Penentuan tarif listrik saat ini mengacu pada kaidah umum industry kelistrikan, dimulai dengan menghitung allowable cost. PLN sebagai single buyer menentukan biaya.biaya yang efesien dan wajar dalam penetapan harga jual listrik kepada pelanggan. Allowable cost adalah biaya-biaya langsung dan tidak langsung yang disepakati sebagai unsur utama dalam proses produksi penyediaan tenaga listrik yang secara wajar dan adil dibebankan kepada pelanggan. Konsep allowable cost ini hanya digunakan untuk perhitungan harga jual tenaga listrik, dan bukan merupakan gambaran dari hasil usaha PLN sebagaimana umumnya tercermin dalam laporan laba/rugi. Dengan menggunakan konsep allowable cost sebagai dasar perhitungan tarif listrik, maka para pelanggan hanya akan membayar/menanggung biaya-biaya yang berkaitan dengan proses produksi listrik yang dikonsumsinya dan tidak harus turut menanggung biaya-biaya PLN yang tidak produktif. Disisi lain, seharunya dihitung juga revenue requirement PLN. Revenue Requirment adalah total pendapatan yang dibutuhkan oleh PLN untuk dapat memperoleh rate of return yang wajar dari investasi usahanya. Namun prioritas Tarif Dasar Listrik (TDL) bukanlah agar PLN dapat menutup semua pengeluarannya, apalagi memperoleh keuntungan. Oleh karena itu Revenue Requirement tidak mendasari pertimbangan pembentukan TDL. Untuk saat ini perhitungan tarif listrik yang sudah belum sesuai dengan nilai keekonomian energi lsitrik dan tidak menarik bagi investor. TDL berlaku seragam (tersentralisasi), padahal setiap daerah mempunyai karakteristrik yang tidak seragam. Sejalan dengan adanya mekanisme desentralisasi pengembangan wilayah dan wewenang dalam mekanisme otonomi daerah, maka kebijakan pemerintah daerah yang tepat dapat memacu para investor untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan tenaga lsitrik yang diharapkan.

Pihak-pihak yang ikut dalam penentuan tarif regional yang terdiri dari 3 komponen, yaitu produsen, konsumen dan pemerintah daerah & DPRD. Pola pemberlakuan tarif regional berdasarkan bottom-up planning, merupakan perencanaan yang dihasilkan dari tingkat masyarakat, dimana masyarakat mampu menetapkan sumber daya yang dapat dialokasikan untuk memecahkan persoalan dan memutuskan rencana dan program pelaksanaan untuk mencapai tujuan pemecahan persoalan tersebut. Dalam menentukan kebijakan FiT regional, masyarakat harus mempertimbangkan reasonable cost, allocable cost, sesuai dengan standar, dihitung secara konsisten, dibukukan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntasi di Indonesia, didokumentasikan dengan baik dan didukung oleh bukti-bukti yang memadai. Dengan begitu, penentuan tarif listrik regional menciptakan tarif listrik berdasarkan kaidah ekonomi yang sehat untuk mengembangkan investasi pada sektor ketenagalistrikan di daerah (desentralisasi).

Investasi kurang menarik.

Investasi dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) diyakini sangat potensial dalam mempercepat program 10.000 Mw tahap II. Upaya menarik investor asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia sampai saat ini masih merupakan

salah satu agenda pemerintah khususnya investasi asing yang bersifat langsung (Foreign Direct Investment) yang mana FDI memiliki pertalian ekonomi yang erat dengan Indonesia (Rahayu 2005). Di samping itu, kehadiran modal asing khususnya dibidang energi menjadi sumber perkembangan teknologi, pertumbuhan ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Maka dengan itu perlunya upaya untuk menarik investasi agar terciptanya pro growth dan pro job, salah satunya dengan melakukan insentif.

Insentif untuk listrik dari sumber energi terbarukan membutuhkan visi, perencanaan jangka panjang, konsistensi implementasi kebijakan serta koordinasi antar lembaga, dan partisipasi publik. Berdasarkan pengalaman berbagai negara maju dan berkembang, dalam pengembangan energi terbarukan menunjukan bahwa peranan pemerintah yang aktif dalam membuat kebijakan, regulasi, pemberian insentif serta koordinasi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) merupakan faktor keberhasilan yang utama. Investor memerlukan Transparency, Longevity and Certainty (TLC) untuk berinvestasi di sektor yang cukup beresiko ini. Berbagai macam fiscal instrument yang dapat diberikan untuk pengembangan panas bumi, salah satunya dengan pemberian insentif pajak.

Pemberian insentif pajak merupakan suatu kebijakan atau discreation yang dapat berlaku untuk suatu sektor usaha. Jenis insentif pajak yang diterapkan di Indonesia dan paling cocok untuk perusahaam PMA sektor industri energi adalah perangsang penanaman berupa pengurangan penghasilan neto, karena kecenderungan investor lebih memilih untuk mendapatkan insentif secara langsung mengurangi beban pajaknya daripada bentuk insentif pengurangan beban pajak yang hanya bersifat sementara. Memberi insentif pembebasan pajak telah dilakukan di Filipina yang membuat pemanfaatan energi panas bumi hingga 1.930,89 Mega Watt energi (MWe) yaitu sekitar 70 persen dari total panas bumi-nya.

Kesimpulan

Salah satu solusi untuk mempercepat proyek 10.000 MW tahap II adalah dengan menetapkan FiT regional, adapun manfaat dari penerapan ini adalah 1) Mendorong kemandirian wilayah setempat dalam menyediakan dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik. 2) menguntungkan konsumen karena ada jaminan pasokan. 3) Menguntungkan pengusaha jasa ketenagalistrikan karena dapat mentetapkan harga sesuai dengan nilai keekonomian tenaga listrik, mendorong efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.

Sedang isu terkait dengan investasi kurang menarik dapat diselesaikan dengan pemberian insentif pajak bagi para investor pengembang panas bumi. Insentif pajak ini berupa pengurangan neto. Dengan pemberian insentif fiskal berupa pembebasan pajak akan menciptakan iklim investasi yang kompetitif. Pemerintah juga harus selektif dan memperkuat sistem evaluasi dan pemantauan, mengingat bahwa insentif fiskal berdampak pada publik secara luas. Diharapkan solusi yang ditawarkan dapat menjadi referensi untuk percepatan 10000 MW tahap II khususnya pada Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP).

Daftar Pustaka

Rahayu, Ning 2005. Kebijakan Investasi Asing (Foreign Direct Investment) di Indonesia dan Vietnam. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 13, No.1 diakses tanggal 20 Mei 2013.

Surya, D., 2010. Geothermal Energi Update: Geothermal Energi Development and Utilization in Indonesia. Proc. World Geotherm. Congr. diakses tanggal 21 Mei 2013.

Sumiarso, Luluk. 2011. Kebijakan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Konservasi Energi. Diakses tanggal 21 Mei 2013. Anonim. 2010. Wacana Tarif Listrik Regional. http://staff.unud.ac.id/~dayugiriantari/wp-content/uploads/2011/03/PEL-031.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2013.

Anonim. 2010. Insentif untuk Listrik dari Energi Terbarukan. http://www.iesr.or.id/2010/05/insentif-untuk-listrik-dari-energi-terbarukan/. Diakses tanggal 28 Mei 2013.

2 Replies to “PENETAPAN FEED IN TARIF (FIT) REGIONAL DAN INSENTIF PAJAK UNTUK MENCIPTAKAN IKLIM INVESTASI YANG KOMPETITIF PADA PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI (PLTP)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.