TEKNOLOGI ENERGI ADALAH MASYARAKAT ITU SENDIRI
Oleh Aloysius Damar Pranadi
Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Sering kali kita mendengar kata-kata tersebut di awal artikel, jurnal bahkan karya tulis/tugas akhir. Padahal kita harus berpikir ulang apakah benar Indonesia kaya?
Setelah saya mencoba mengikuti beberapa acara – acara bertemakan energi yang dihadiri oleh banyak pembicara – pembicara ternama bahkan dunia, ternyata kalimat pertama yang saya tuliskan di awal artikel ini sudah tidak relevan pada keadaan nyatanya. Dengan sangat menyesal, saya harus mengakui Indonesia tidak kaya akan sumber daya alamnya ditambah sumber daya manusianya yang masih menganggap bahwa bangsa ini bangsa yang kaya sumber daya alam walau kenyataannya tidak. Saya menulis ini karena saya cinta bangsa ini. Cinta saya akan kenyataan yang terjadi, bukan akan kepalsuan yang dibuat – buat.
Mari kita tengok keadaan nyata dunia dari dahulu hingga saat ini. Dahulu pada abad pertengahan (abad 13 – abad 18) memang dunia membutuhkan rempah – rempah dan beberapa hasil perkebunan dari daerah tropis. Banyak migrasi besar – besaran dari bangsa subtropis menuju ke bangsa – bangsa yang beriklim tropis. Mereka mencari sumber daya alam yang saat itu memang dunia butuhkan. Di saat itulah Indonesia kaya akan sumber daya alam, kaya sekali bahkan, namun terjajah dalam jangka waktu yang lama. Di saat Indonesia kaya kita terjajah dan kekayaan kita terebut. Sayang sekali kita melewatkan kesempatan untuk menjadi negara adikuasa saat itu. Kalimat saya sangat cocok apabila kita mengacu pada zaman ini.

Selanjutnya Indonesia masuk dalam zaman pasca revolusi Industri. Pada zaman itu negara Indonesia masih dilirik sebagai bangsa kaya, karena sebuah komoditi pokok pada zaman itu adalah batu bara dan beberapa rempah – rempah masih menjadi idola. Indonesia yang kaya akan batubara pun menjadi incaran bangsa – bangsa barat untuk dikeruk dan dikirim ke sana. Lagi – lagi negeri ini terperosok ke dalam jurang penjajahan dan melewatkan kesempatan menjadi negara adikuasa, karena masyarakat saat itu pun masih berpikiran lokal kedaerahan.
Memasuki era Perang Dunia, Indonesia hanya menjadi penonton yang baik. Negara adikuasa yang telah muncul di dua belahan dunia saling berebut daerah – daerah vital. Di saat inilah para penjajah dari bangsa Asia dan Afrika kewalahan menguasai jajahannya. Komoditi dunia saat itu adalah pangan, senjata dan tenaga pembunuh massal. Beberapa sumber daya alam Indonesia pun dikeruk juga demi memenuhi kebutuhan beberapa pangkalan dekat Indonesia dan kebutuhan negara adikuasa. Indonesia lagi – lagi berkurang kekayaannya sumber daya alam.

Di saat era berbagai negara Asia dan Afrika merdeka, Indonesia lahir sebagai salah satu negara besar yang merdeka saat itu. Negara yang ditakutkan oleh bangsa – bangsa lainnya telah lahir dengan pemimpin yang sangat disegani warga dunia, Bung Karno. Saat itu negara mulai mencoba membangun dan menata diri. Masyarkat menyadari bahwa Indonesia memiliki banyak sumber daya alam akan tetapi karena terlalu lama dijajah masyarakat saat itu tidak tahu harus berbuat apa terhadap kekayaan – kekayaan itu. Pasca kemerdekaan, menjadi pasca dimana terjadi kehampaan akan komoditi bangsa karena negara ini dalam proses pembangunan stabilitas politik dan keadaan setelah dijajah dalam waktu lama. Dunia pun lagi merestorasi perdamaian dan komoditi dunia saat itu pangan dan papan. Indonesia yang masih kaya akan sumber kayunya pun adalah salah satu negara pengekspor kayu dalam jumlah besar saat itu.
Di era industri baru, muncul komoditi minyak sebagai bahan bakar untuk transportasi. Indonesia termasuk dalam G-20 pada era orde baru dan menjadi pengekspor gas dan minyak yang besar saat itu. Indonesia kaya saat itu dan membuka lahan bagi banyak tenaga asing karena pemerintah saat itu sudah menumbuhkan rasa tidak mau ribet dalam membangun, asalkan menguntungkan bagi negara. Indonesia tidak mengadakan banyak penelitian dan pembuatan alat sendiri, hanya dapat membeli demi harga yang lebih murah dari produksi dan lebih praktis. Disinilah awal penyakit yang dibawa ke pemerintahan selanjutnya, yang menjadi salah satu penghambat teknologi energi baru dan terbarukan di Indonesia.
Belum lama ini, Indonesia telah berhasil keluar dari G-20 dan mengalami hal di luar dugaan. Indonesia mengimpor banyak minyak hanya demi memenuhi kebanggaan masyarakat dengan subsidinya. Hutang Indonesia membengkak dari pertengahan orde baru dan ditambah masyarakat saat ini terlena oleh karena subsidi. Keadaan itu jauh diperburuk dengan ketertinggalan penelitian dan pengembangan IPTEK dibanding negara lain. Akhirnya mau tidak mau, pemerintah tidak ada pilihan dengan meneruskan budaya orde baru dengan membayar orang asing untuk bekerja di lahan – lahan energi yang produktif. Keadaan dunia saat ini sudah melupakan Indonesia sebagai negara kaya. Kekayaan yang semakin sedikit akibat pengerukan berabad – abad silam membuat negeri ini hanya memiliki sisa – sisa kekayaan.
Komoditi di dunia saat ini adalah energi dan air. Kedua hal tersebut sangat pokok mengingat bahwa semua negara membutuhkan kedua hal tersebut. Selain itu energi yang dibutuhkan oleh dunia bukan energi yang konvensional seperti era revolusi industri sampai industri baru. Energi – energi bersih menjadi komoditi utama dunia demi menciptakan iklim yang bersahabat. Sehingga berdasarkan komiditi tersebut, kita dapat merenungkan apakah Indonesia kaya saat ini?
Seseorang pembicara dalam sebuah acara minyak dan gas bertanya demikian kepada pesertanya, “Apakah Indonesia menurut teman – teman sekalian kaya sumber daya alam dan sumber energinya?” Ketika itu ada yang mengangguk, ada yang memberi pendapat, ada yang berpendapat berdasarkan data mungkin bisa disebut kaya dan saya hanya terdiam karena bingung dan mempertanyakan data yang saya sering kali baca itu benar apa salah.
Pembicara itu melanjutkan dan menunjukkan beberapa bukti Indonesia tidak kaya. Ia berkata memang bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya, dahulu saat komoditi utamanya rempah – rempah dan tanpa teknologi yang berat. Saat ini, sangat miris Indonesia kaya akan sumber daya alam dan energinya.
Berdasarkan penyampaian beliau, seluruh cadangan minyak yang tersimpan hanya di seluruh pipeline Amerika dalam satu hari adalah dua hari produksi seluruh minyak yang dihasilkan di seluruh sumur minyak Indonesia. Dalam salah satu slide presentasinya untuk cadangan gas alam, Indonesia pada tahun 2020 akan terancam mengalami import karena adanya gap antara produksi dan permintaan gas di Indonesia. Potensi alam angin dan surya kita kalah dibandingkan dengan negara – negara lainnya. Satu yang menjadi harapan adalah Panasbumi.

Di lain kesempatan saya mengikuti acara panasbumi, saya menemukan harapan ini sulit sekali berkembang untuk menjadi kenyataan karena banyak sekali halangannya. Peraturan pemerintah menjadi salah satu penghambat pengembangan energi panasbumi. Dalam peraturan diberlakukan bahwa panasbumi yang diutamakan menjadi energi nasional adalah tipe high enthalpy, sehingga data yang 29 GW harus menyusut menjadi sekitar 16 GW (Sumber: Presentasi Bapak Amir Fauzi, IIGW 2015). Bapak Amir berpendapat bahwa 29 GW itu juga ternyata masih kurang tepat perhitungan. Perhitungan total sumber energi panasbumi seharusnya tidak menghitung jumlah semua potensi yang diambil secara berurutan. Hal ini mengakibatkan double counting (terhitung kembali), sehingga potensi membengkak. Data saat ini dihitung dengan menjumlahkan 5 klasifikasi potensi sumber panas bumi yaitu spekulasi, hipotetik, cadangan terduga, cadangan mungkin dan cadangan terbukti. Padahal hasil dari cadangan terbukti termasuk dalam cadangan mungkin, cadangan mungkin termasuk dalam cadangan terduga. Apabila semua dijumlahkan itu menjadi suatu angka yang bukan sumber panasbumi Indonesia sebenarnya. Revisi pun dilakukan dalam presentasi Bapak Amir dan menurut perhitungan beliau didapatkan sebanyak 24 GW potensi panasbumi sebenarnya. Sedangkan berpacu pada peraturan pemerintah yang memanfaatkan high enthalpy saja, maka berkurang menjadi sekitar 16 GW yang dapat dimanfaatkan. Inilah hasil yang realistis untuk dikembangkan di Indonesia.
Walau pemerintah sudah mengizinkan pembukaan hutan lindung untuk panasbumi, ternyata perkembangan Panasbumi terhalang beberapa faktor lain. Pertama, ada sebuah well testing yang dekat dengan rumah warga. Disana diduga bahwa reservoir panasbumi berada di bawah tempat tinggal warga. Hal ini tentu menjadi hambatan eksplorasi panasbumi. Kedua, panasbumi ditolak oleh warga karena diduga mengganggu siklus hidrologi dan mengeringkan sumur warga. Ketiga, warga menolak mengelola panasbumi apabila perusahaan asing yang mengelola padahal biaya pembangunan panasbumi tidaklah sedikit. Perusahaan setelah melakukan penelitian diketemukan bahwa sumber panasbuminya tidak ekonomis sehingga membatalkan kontrak lahan. Sekali lagi saya mencoba merenungkan dimana letak kekayaan Indonesia kalau warganya menolak kekayaan alam itu dikelola? Kekayaan itu hanya menjadi sebatas kebanggaan, tetapi sayang tidak menjadi kenyataan.

Di hilir energi kita dapat melihat beberapa perkembangan teknologi sudah dilakukan. Konversi minyak tanah ke gas telah berhasil menjadi andalan pemerintah walau terdapat isu politis. LNG (Liquified Natural Gas), CNG (Cyrogenic Natural Gas) dan GTL (Gas to Liquid) menjadi andalan hilir energi alternatif masyarakat Indonesia. SBPG sudah ada di Jakarta dan Bekasi dan kendaraan berbahan bakar gas pun telah banyak beroperasi (taksi, angkutan kota dan bus). CNG adalah mode transportasi energi dengan memanfaatkan gas untuk bahan bakar. Biasanya CNG cocok untuk kendaraan jarak dekat seperti taksi dan angkutan umum. LNG adalah mode transportasi lainnya yang 1:600 dari volume gas aslinya. Hal ini menandakan LNG lebih efisien masalah penampungan, tetapi secara fisis berbahaya karena bersuhu sangat rendah yaitu sekitar -168 oC.
Perkembangan energi hilir juga tidak terjadi di Indonesia, di Jepang saat ini muncul Toyota Mirai. Sebuah mobil masa depan berbahan bakar hidrogen dimana residu pembuangan dari mesin hanya berupa air dan udara baik. Toyota Mirai sudah disewakan ke beberapa universitas ternama di Jepang sebagai prototipe yang langsung bisa digunakan. Pada tahun 2020, mobil ini akan berencana dipublikasikan besar – besaran.

Energi Gas juga memiliki beberapa halangan tersendiri. Banyak dalam warga Indonesia takut akan kejadian kendaraan gas meledak. Padahal yang meledak itu, dikarenakan tidak dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Apabila perawatan teratur dan berkala, maka kendaraan gas akan aman. Selain itu energi gas terbatas fasilitasnya, seperti FSRU (Floating Storage Regasification Unit) hanya terdapat tiga yaitu Lampung, Semarang dan Jawa Barat. Padahal LNG sangat dibutuhkan di banyak tempat dan merupakan mode transportasi yang murah dan mudah. Masalah perizinan jalur pipa gas juga sangat sulit di Indonesia, beresiko tinggi dan cukup mahal apabila jaraknya lebih dari 4000 km.
Padahal Energi gas perlu dipertimbangkan juga, presentasi PGN dan Pertamina di Petroleum Industry Training 2015 Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa harga BBG itu jauh lebih murah daripada bahan bakar minyak. BBG per liternya hanya Rp. 3.100,00 sedangkan BBM sudah mencapai tujuh ribu rupiah. Hal ini tentu menjadi alternatif penghematan biaya, mengingat harga konverternya yang sekitar 15 juta namun bisa digunakan dalam jangka waktu 2 tahun lebih.
Sayang sekali untuk saat ini, Indonesia sedang tidak kaya saat akibat penyakit masa lalu. Mari kita tengok beberapa negara sahabat kita. India telah memproduksi banyak panel surya. Jepang, negara yang tidak bersumber daya alam, memiliki ketahanan energi nasional yang lebih tinggi dari Indonesia. Iceland, adalah negara yang memanfaatkan 100% energi terbarukan untuk energi listriknya. Amerika memiliki sumber terbukti panasbumi terbesar dan cadangan minyak terbesar juga melalui shale oil nya.
Saatnya Indonesia untuk berlari mengejar target pemerintah untuk 35 000 MW pada tahun 2019. Indonesia masih memiliki kekayaan panasbumi terduga terbesar di dunia 16 GW dan kapasitas terpasang ketiga di dunia. Indonesia masih memiliki shale gas yang cadangannya tiga kali dari conventional natural gas. Indonesia masih cukup untuk kaya di masa depan dengan kedua hal ini.
Hanya ada satu teknologi yang belum dimiliki oleh Indonesia yaitu suatu teknologi yang bernama: Kemauan Kuat. Tidak ada teknologi yang lebih hebat dari pada sebuah kemauan. Dengan adanya teknologi bernama kemauan itu, mindset dan budaya masyarakat itu sendiri akan berubah dan mendukung perkembangan energi di Indonesia dengan cara bekerja keras. Seluruh masyarakat Indonesia mendukung dan memahami mana yang kebutuhan bangsa dan mana kebutuhan pribadi.

Anekdot orang – orang energi pernah berkata seperti ini:
“Bagaimana listrik di Indonesia tidak mahal apabila di pembangunannya terdapat preman – preman dari masyarakatnya sendiri? Hari ini datang preman, besok datang lagi adiknya, besok datang lagi sepupunya, besok datang lagi saudara dari sepupunya.”
“Lebih susah mengusir rumah kumuh untuk sebuah kawasan energi daripada mengusir kawasan mewah. Hal ini dikarenakan ketika bernegosiasi dengan warga rumah kumuh, kita tidak hanya bernegosiasi dengan dirinya saja, tetapi juga emosi dan perutnya.”
Siapkah kita berubah bersama – sama, bung?