Oleh: Agnesningtyas, Farid Yuli Martin, Narraryya Irsyad
Memasuki bulan Mei 2020 ini, menandakan bahwa sudah kurang lebih 1 bulan semenjak diberlakukannya himbauan stay at home oleh pemerintah Indonesia.
Selama itu pula kegiatan sehari-hari kita seperti kuliah maupun bekerja dilakukan di rumah. Dan kegiatan diluar rumah lainnya seperti pergi belanja diupayakan dilakukan seperlunya saja tanpa hangout apalagi kumpul-kumpul bersama teman atau gebetan.
Hampir 24/7 atau 24 jam dalam seminggu kita berada di dalam sebuah bangunan bernama rumah, rasa-rasanya ingin segera bisa beraktivitas diluar rumah kembali seperti sebelum Covid-19 melanda.
Tapi kalau kita perhatikan, aktivitas kita sebelum adanya kebijakan stay at home. Kita yang katanya sebagai manusia modern ini, ternyata menghabiskan sekitar 80% dari total waktu kita tiap harinya di dalam bangunan[1]. Dari awal memulai hari, melakukan aktivitas dari pagi hingga sore, berkuliah, bekerja di dalam gedung, menghabiskan akhir pekan ke mall, supermarket, atau berbagai spot hangout lainnya.
Berbicara tentang serangkaian aktivitas manusia, tentunya tak lepas dari berbagai macam kebutuhannya. Aktivitas yang dilakukan manusia seperti mencuci, memasak, belajar, bekerja hingga hiburan tak lepas dari kebutuhan akan energi, terutama listrik. Hal ini menyebabkan, persentase konsumsi energi dunia didominasi dari sektor bangunan, yaitu hingga 47% yang bahkan lebih banyak dibandingkan sektor industri yang sebesar 24,4%[2].
Implikasi penggunaan sumber energi tak ramah lingkungan yang masih mendominasi bauran sumber energi hingga sekarang ini, adalah berupa emisi CO2. Sebanding dengan porsi konsumsi energinya, sektor bangunan juga mendominasi persentase emisi CO2 global, yakni sebesar 39%[3].
Dan tak bisa dipungkiri, nilai tersebut akan semakin meningkat dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan bangunan gedung. Mengingat, populasi manusia diproyeksikan akan semakin meningkat secara eksponensial sejak awal abad 20 hingga sekarang ini dan beberapa dekade kedepan, hingga lebih dari 8 milyar jiwa pada tahun 2050[4].
Berbagai dampak akibat peningkatan emisi CO2 seperti pemanasan global dan perubahan iklim, akan mempengaruhi keberlangsungan makhluk hidup di bumi. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim, seperti pada 2015 negara-negara di dunia menyetujui Perjanjian Paris atau Paris Agreement untuk menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 0C dari angka sebelum masa Revolusi Industri, dan mencapai upaya dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1.5 0C[5]. Dicapai dengan mengurangi emisi CO2 yang besarnya sesuai dengan target masing-masing negara. Indonesia sendiri, menetapkan target pengurangan emisi CO2 sebesar 29% pada tahun 2030[6].
Salah satu langkah yang diterapkan untuk menurunkan tingkat emisi dari sektor bangunan sebagai salah satu sektor penyumbang emisi CO2 terbesar, adalah melalui penerapan Net Zero Energy Building yang merupakan bagian dari konsep bangunan berkelanjutan.
Net Zero Energy Building (NZEB) adalah suatu konsep dimana sebuah bangunan mampu secara efisien dalam mengonsumsi energinya, dan secara keseluruhan (net) tidak mengonsumsi energi berbahan bakar fosil melainkan dari sumber energi terbarukan, baik dengan mencukupi sendiri kebutuhan energinya secara on-site maupun off-site[7]
Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam penerapan konsep NZEB antara lain :
- Efisiensi Energi
Upaya konsumsi energi pada bangunan sehemat mungkin, namun tetap mampu memenuhi kebutuhan dan kenyaman pengguna. Upaya penghematan diarahkan pada upaya konservasi energi di bangunan, yang bisa ditempuh dengan berbagai cara, diantaranya berupa pengoptimalan pencahayaan alami sehingga mampu menurunkan kebutuhan terhadap pencahayaan buatan, atau dari segi material bangunan dapat dilakukan dengan penentuan material bangunan yang memiliki kemampuan insulasi cukup baik dan efektif dalam menghalangi transfer kalor dari lingkungan ke dalam bangunan, sehinga dapat mengurangi beban pendinginan komponen penghawaan buatan (AC)
- Pemanfaatan Energi Terbarukan
Upaya memanfaatkan sumber energi terbarukan seperti energi matahari, energi angin, biomassa, limbah, hingga energi air, melalui teknologi-teknologi pembangkitan enrgi terbarukan. Hal ini ditempuh untuk mencukupi kebutuhan energi pada bangunan baik secara on-site maupun off-site.
Penerapan konsep NZEB diharapkan mampu dilakukan dengan maksimal sehingga membawa dampak penurunan terhadap emisi CO2. World Green Building Council (WGBC) selanjutnya, menyusun target penerapan NZEB[8], yaitu:
- Tahun 2020 : seluruh bangunan baru harus memenuhi konsep Net Zero
- Tahun 2050 : 100% bangunan harus memenuhi konsep Net Zero
Menurut WGBC, langkah menuju Bangunan Net Zero dapat dilakukan secara bertahap, meliputi tahap-tahap berikut ini:
- Optimasi Desain
Optimasi desain jendela, ventilasi, pemilihan material bangunan dengan kemampuan insulasi yang baik
- Peningkatan Efisiensi Energi
Peningkatan efisiensi energi yang mempertimbangkan kualitas kesehatan dan kenyamanan seperti pemasangan filter udara dan pemilihan sistem pengondisian udara buatan (AC) yang sesuai standar.
- Pemasangan Pembangkit Energi Terbarukan
Pemasangan Panel Surya (PLTS atap), kincir angin, mikrohidro, maupun pengelolaan biomassa dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi alam di wilayah bangunan yang diimbangi dengan pemilihan teknologi pembangkitan.
Tahap efisiensi energi, merupakan tahap awal dalam konsep NZEB yang dapat kita terapkan di rumah kita, hal ini sekaligus sebagai upaya penghematan energi #dirumahaja .
Beberapa upaya efisiensi energi #dirumahaja antara lain :
- Menggunakan peralatan elektronik dengan bijak
Mematikan peralatan listrik dan elektronik yang sudah tidak terpakai
- Memaksimalkan pencahayaan alami
Memaksimlakan penggunaan jendela atau skylight terutama di siang hari
- Memaksimalkan penghawaan alami
Membuka jendela, memaksimalkan fungsi ventilasi udara hingga menanam tanaman hijau yang mampu menunjang pengondisian udara secara alami dengan pemanfaatan ruang terbuka hijau.
Selain tips diatas, masih banyak upaya lain untuk melakukan efisiensi energi yang tergantung pada kondisi atau keadaan dari masing-masing bangunan dan kebutuhan masing-masing pengguna. Berbagai langkah lain yang berbeda dapat ditempuh selama mencapai satu tujuan yang sama, goal utama yaitu berupa bangunan yang berkelanjutan, sustainable building untuk mendukung langkah kita bersama dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, sustainable development.
Jika yang membuat kita berjarak dengan alam adalah karena gaya hidup perkotaan kita, maka seharusnya solusinya juga berasal dari kota itu sendiri.
Selamat ber-wfh sekaligus menerapkan upaya efisiensi energi #dirumahaja . Semoga pandemik segera berakhir dengan banyak pembelajaran yang kita ambil darinya dan memberikan kita kesempatan untuk menjalani hidup dengan lebih bijak lagi.
Untuk infografis menarik tentang ‘Menuju Bangunan Net Zero #dirumahaja’ bisa disimak melalui akun instagram kamase di @ugmkamase
https://www.instagram.com/ugmkamase/
Referensi :
[1] Klepeis, Neil. The National Human Activity Pattern Survey. National Exposure Research Laboratory
[2] Architecture 2030. 2013. Redrawn by CTBUH
[3] Global Status Report. Global Alliance for Building and Construction (GABC) and Architecture 2030.
[4] UN World Urbanization Prospects 2018 and historical
[5] Paris Agreement, FCCC/CP/2015/L.9/Rev.1. UNFCCC secretariat
[6] BPHN.RUU Ratifikasi Paris Agreement. www.bphn.go.id, 2015.
[7] A Common Definition for Zero Energy Buildings. US Departement of Energy. 2015.
[8] Advancing Net Zero. World Green Building Council. 2018