Oleh: Diatri Rahima Adristi, A’raf Adi Nugraha Putra, dan Ismu Rijal Fahmi

Bencana alam yang terjadi belakangan ini, seperti banjir dan kebakaran hutan, adalah akibat dari  perubahan iklim. Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), penyebab terbesar perubahan iklim adalah global warming (Masson-Delmotte, et al., 2019). Seperti yang diketahui bahwa global warming diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi  gas rumah kaca, termasuk gas CO2. Salah satu penyumbang gas C02 terbesar yaitu pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil.

Hampir 80 persen energi yang dikonsumsi manusia adalah turunan dari bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Sisanya adalah energi nuklir dan energi terbarukan (Nunez, 2019). Ketergantungan manusia pada energi fosil ini ke depannya harus digantikan dengan energi terbarukan, mengingat energi fosil bersifat non-renewable dan berdampak buruk bagi lingkungan. Energi terbarukan dapat meminimalkan emisi gas rumah kaca. Penggunaannya yang tidak menghasilkan gas buangan ini membuat energi terbarukan lebih ramah lingkungan  

Penggunaan energi terbarukan selain baik bagi lingkungan juga dapat meminimalkan pengeluaran, di mana penggunaan EBT yang mandiri dapat mengurangi ketergantungan dengan PLN, baik dari segi biaya maupun ketersediaan listrik jika terjadi pemadaman dari pusat. Beberapa daerah di Indonesia, daerah terpencil khususnya, penerapan penggunaan energi terbarukan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar dan juga dapat mengembangkan potensi kekayaan daerah setempat. Saat ini Indonesia memiliki potensi energi terbarukan kurang lebih sebesar 400 gigawatt, namun pada akhir 2019, baru 8% yang dimanfaatkan (Rahma, 2019). Hal ini dikarenakan beberapa kendala, baik dari segi teknis maupun non-teknisnya. Salah satu hal yang menghambat perkembangan energi terbarukan adalah sifatnya yang tidak kontinyu atau intermittent, terutama energi surya dan energi angin. Energi surya tidak dapat bekerja satu hari penuh dan tidak optimal ketika cuaca kurang mendukung. Begitu pula dengan energi angin, di mana ketersediaan angin setiap waktunya tidak bisa stabil. Hal ini membuat ketimpangan antara energi yang dihasilkan dan energi yang dibutuhkan.

Telah berkembang beberapa teknologi untuk mengatasi masalah dari intermittency energi terbarukan ini, di antaranya adalah hybrid renewable energy, yaitu suatu sistem  yang  mengombinasikan dua atau lebih sumber energi terbarukan (Fauzi & Sugita, 2016). Dengan teknologi hybrid ini, kebutuhan listrik akan terus terpenuhi. Pada umumnya, sistem hybrid ini dibekali atau disambungkan dengan energy storage, mengingat sifat energi terbarukan yang intermittent membuat power grid menjadi fluktuatif atau tidak stabil. Energy storage berguna untuk menyimpan kelebihan energi yang dihasilkan dan melepaskannya ketika dibutuhkan. Bentuk penyimpanan yang dilakukan oleh energy storage terdapat beberapa jenis. Beberapa bentuk energy storage yang sedang berkembang saat ini di antaranya Pumped-Storage Hydroelectricity (PSH), Compressed Air Energy Storage (CAES), Advanced Battery Energy Storage (ABES), dan Flywheel Energy Storage (FES). Dari keempat bentuk penyimpanan energi yang telah disebutkan, PSH merupakan bentuk penyimpanan energi yang memiliki kapasitas paling besar. Menurut the United States Department of Energy Global Energy Storage Database, Lebih dari 95% instalasi penyimpanan energi (installed grid storage) di dunia menggunakan PSH (Center for Sustainable Systems, 2017).

PSH menyimpan energi dalam bentuk energi potensial gravitasi dari air yang telah dibuat DAM. Ketika permintaan listrik sedang rendah, kelebihan energi listrik digunakan pada pompa untuk mengangkat air ke penampung, air dipompa dari reservoir rendah ke reservoir yang lebih tinggi. Ketika periode permintaan listrik sedang tinggi, air dari penampungan dilepaskan melalui turbin untuk menghasilkan tenaga listrik dengan menggunakan konsep turbin pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). PSH dapat menjadi penyimpan energi bagi energi surya dan angin yang bersifat fluktuatif. Jika diambil contoh kasus di Jerman yang mengalami surplus listrik ketika musim liburan dikarenakan jumlah permintaan terhadap listrik lebih rendah dibandingkan energi listrik yang dihasilkan dan baterai yang ada telah overcapacity, bahkan Jerman mematok harga negatif pada listrik untuk menjaga keseimbangan antara berapa banyak energi yang digunakan penduduk dan berapa banyak yang diproduksi dari energi terbarukan. Sedangkan pada akhir tahun menjelang natal dan tahun baru, permintaan listrik di Jerman mencapai titik tertinggi di sepanjang tahun sehingga tidak mampu diimbangi oleh listrik dari energi terbarukan (Starn, 2017). Melihat hal ini, PSH dapat dijadikan solusi sebagai penyeimbang energi dan stabilitas kapasitas penyimpanan energi.

Teknologi PSH mengalami perkembangan yang signifikan sejak awal diperkenalkan yang meliputi peningkatan efisiensi karena pompa-turbin yang modern, pompa-turbin yang dapat diatur kecepatannya, converter dengan frekuensi statis, sistem isolasi generator, dan konstruksi terowongan air dengan metode dan desain yang modern. Secara keseluruhan, efisiensi pompa-turbin generator telah meningkat sebanyak 5% dalam 25 tahun terakhir dan efisiensi siklus PSH telah melampaui 80% (Harris, 2018).

Sebagai media penyimpan energi, PSH memiliki kelebihan berupa kemampuan menyimpan dan energi yang besar, bebas emisi karbon dan limbah berbahaya, life cycle cost yang lebih rendah daripada baterai konvensional, dan self discharge rendah.

PSH mampu menyimpan daya dalam rentang ratusan hingga ribuan megawatt dengan waktu discharge puluhan jam. Waktu discharge adalah berapa lama sistem penyimpan energi dapat menghasilkan energi secara terus-menerus. Dengan daya dan waktu discharge yang besar, PSH dapat menyimpan dan mengeluarkan energi yang besar pula. Gambar 1 menunjukkan rentang daya dan waktu discharge PSH dan perbandingannya dengan penyimpan energi lainnya (Leadbetter & Swan, 2012).


Gambar 1. Durasi vs daya penyimpan energi hingga tahun 2008.

PSH tidak menghasilkan emisi yang berbahaya bagi lingkungan karena dalam proses penyimpanan dan pengeluaran energinya tidak membutuhkan reaksi kimia layaknya proses pembakaran. Komponen PSH juga dibuat dari bahan yang ramah lingkungan, tidak seperti baterai konvensional yang biasanya menggunakan timbal dan zat asam yang apabila dibuang dapat mencemari lingkungan. Selain itu, media penyimpan energi PSH juga berupa air yang secara inheren tidak berbahaya bagi lingkungan.

Life cycle cost (LCC) adalah jumlah biaya berulang dan tidak berulang selama sistem berjalan atau pun dalam suatu periode tertentu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ma, Yang, dan Lu, LCC PSH (Option 4c) dapat mencapai 21% LCC baterai konvensional (Option 2c) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 (Ma, Yang, & Lu, 2014).


Gambar 2. Biaya berbagai opsi penyimpan energi dan rasio biaya terhadap Option 1.

Self discharge adalah hilangnya energi dalam penyimpanan energi karena proses internal. Dalam PSH, self discharge disebabkan oleh evaporasi dan perembesan. Self discharge PSH lebih rendah dibandingkan dengan beberapa penyimpan energi lainnya seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1 (Leadbetter & Swan, 2012) (Fuchs, Lunz, Leuthold, & Sauer, 2012).

Tabel 1. Self discharge PSH dan beberapa baterai konvensional dalam satu hari.

Jenis Penyimpan Energi Self Discharge dalam Satu Hari
Baterai Pb-A <0,5%
Baterai Li-Ion 0,1-0,3%
Baterai Na-S 20%
PSH 0,005-0,02%

Di sisi lain, PSH memiliki kelemahan berupa ketergantungannya terhadap topografi suatu daerah dan densitas energinya yang rendah.

Oleh karena PSH mengandalkan energi potensial air, sistem PSH memerlukan suatu daerah yang memiliki perbedaan ketinggian yang signifikan dan mampu menampung air dalam jumlah yang banyak. Semakin besar perbedaan ketinggian dan volume reservoir atas dan reservoir bawah, semakin besar kemampuan PSH menyimpan energi.

Densitas energi adalah rasio besarnya energi yang dikandung oleh penyimpan energi terhadap volumenya. Semakin besar densitas energinya, semakin kecil volume penyimpan energi yang dibutuhkan sehingga semakin mudah diaplikasikan. PSH memiliki densitas energi yang rendah dibandingkan penyimpan energi lainnya, sehingga PSH memerlukan volume penampungan air yang besar. Densitas energi PSH apabila dibandingkan dengan penyimpan energi lain ditunjukkan oleh Tabel 2 (Fuchs, Lunz, Leuthold, & Sauer, 2012).

Tabel 2. Perbandingan densitas energi beberapa penyimpan energi. Densitas energi dihitung berdasarkan energi yang dapat digunakan setelah dikonversi.

Dengan karakteristik yang telah disebutkan di atas, dalam pembangunan PSH, diperlukan beberapa pertimbangan sebagai berikut.

  • Optimalisasi head dan debit air.

Daya yang dihasilkan oleh PSH dapat diketahui melalui persamaan berikut (Barnes & Levine, 2011).

P = Q x H x ρ x g x μ

Di mana P = daya keluaran PSH dalam watt (W), Q = debit air dalam meter kubik per detik (m3/s), H = head dalam meter (m), ρ = densitas air dalam kilogram per meter kubik (kg/m3), g = akselerasi gravitasi dalam meter per detik kuadrat (m/s2), dan μ = efisiensi sistem.

Dari persamaan tersebut, diketahui bahwa daya yang dihasilkan PSH berbanding lurus terhadap beda ketinggian reservoir atas dan reservoir bawah (head) dan debit air. Namun demikian, dalam pembuatan PSH sering kali terdapat keterbatasan head dan volume air yang tersedia. Apabila suatu tempat tidak memiliki head yang tinggi, air yang digunakan perlu diperbanyak dan perlu penampung air yang lebih besar pula, dan sebaliknya. Alternatif lain, kemajuan teknologi memungkinkan pembuatan reservoir dalam tanah sehingga head PSH di tempat tersebut dapat ditingkatkan.

  • Pertimbangan lingkungan

Meski secara inheren PSH ramah lingkungan, PSH tetap dapat mengganggu keseimbangan alam apabila dalam pembangunannya tidak dilakukan dengan benar. Pertimbangan lingkungan yang perlu diperhatikan adalah PSH sebisa mungkin didesain untuk menggunakan air secara reversibel sehingga tidak mengganggu pemenuhan kebutuhan air penduduk sekitar maupun makhluk hidup lain dan membangun. Selain itu, sebaiknya PSH dibangun di luar aliran sungai utama agar tidak menutup atau mengubah aliran tersebut.

  • Pertimbangan keselamatan

Oleh karena PSH menyimpan air dengan energi yang besar, terdapat risiko yang tinggi apabila energi tersebut keluar secara tiba-tiba dan tidak terkendali. Hal ini dapat terjadi karena gempa bumi atau kegagalan konstruksi sistem itu sendiri. Maka, dalam pembangunan PSH, perlu dipertimbangkan kerawanan bencana di tempat tersebut dan dibuat dengan desain, bahan, dan metode konstruksi yang andal.

PSH merupakan penyimpan energi yang dapat mengatasi intermittency pembangkit listrik tenaga surya dan angin. PSH memiliki kelebihan berupa kemampuan menyimpan dan energi yang besar, bebas emisi karbon dan limbah berbahaya, life cycle cost yang lebih rendah daripada baterai konvensional, dan self discharge yang rendah. Di sisi lain, PSH memiliki kelemahan berupa bergantung terhadap topografi daerah dan memiliki densitas energi yang rendah.

Referensi

Barnes, F. S., & Levine, J. G. (2011). Large Energy Storage Systems Handbook. Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis Group.

Center for Sustainable Systems. (2017). U.S. Grid Energy Storage. Ann Arbor: University of Michigan.

Fauzi, A. R., & Sugita, M. R. (2016). Studi Implementasi Smart Grid dengan Penetrasi Hybrid Renewable Energy di Provinsi Nusa Tenggara Timur. JNTETI, 1-6.

Fuchs, G., Lunz, B., Leuthold, M., & Sauer, D. U. (2012). Technology Overview on Electricity Storage. Aachen: RWTH Aachen University.

Harris, M. (2018). NHA Report Details Hurdles Facing America’s Pumped Storage Sektor. Diambil kembali dari Hydro Review: https://www.hydroreview.com/2018/04/25/nha-report-details-hurdles-facing-america-s-pumped-storage-sector/

Leadbetter, J., & Swan, L. G. (2012). Selection of Battery Technology to Support Grid-integrated Renewable Electricity. Elsevier, 376-386.

Ma, T., Yang, H., & Lu, L. (2014). Feasibility Study and Economic Analysis of Pumped Hydro Storage and Battery Storage for a Renewable Energy Powered Island. Elsevier, 387-397.

Masson-Delmotte, V., Zhai, P., Pörtner, H.-O., Roberts, D., Skea, J., Shukla, P. R., . . . Gomis, M. I. (2019). Global warming of 1.5°C. New York: The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Nunez, C. (2019). Renewable Energy, Explained. Diambil kembali dari National Geographic: https://www.nationalgeographic.com/environment/energy/reference/renewable-energy/

Rahma, A. (2019, November 6). Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Baru Dimanfaatkan 8 Persen. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.

Starn, J. (2017, Oktober 27). Germany Set to Pay Customers for Electricity Usage as Renewable Energy Generation Creates Huge Power Surplus. London, Inggris, Britania Raya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.