Oleh: Giovanni Farrel, Aldo Putra, Annisa Zulfa Nur Azza, Rifqi Firza Ananda, dan Aldo Putra
Energi merupakan sebuah hal penting, karena menopang hampir seluruh aspek kehidupan. Karena perannya yang sangat krusial tersebut, ketahanan energi nasional juga menjadi sangat penting. Dewan Energi Nasional (DEN) dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) mendefinisikan ketahanan energi sebagai suatu kondisi terjaminnya akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan (Peraturan Pemerintah RI, PP NO 79 Tentang Kebijakan Energi Nasional).
Namun, saat ini Indonesia masih sangat bergantung terhadap energi fosil yang cepat atau lambat akan habis dan berpotensi menyebabkan krisis energi. Selain itu, energi fosil merupakan energi yang kurang ramah lingkungan. Proses pembakarannya menghasilkan efek yang kurang baik bagi lingkungan dan kesehatan seperti efek green house, dikarenakan menghasilkan kandungan karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), dan oksida nitrogen (NOx) (Patil et al., 2008).
Sehingga, dalam rangka menciptakan ketahanan energi dan menghindari krisis energi, negara mulai menyiapkan berbagai alternatif energi lain dengan membuat target pencapaian bauran energi baru terbarukan. Salah satunya, pemerintah Indonesia menargetkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) seperti bioetanol dan biodiesel sebanyak 5% pada tahun 2025 (Widodo et al., 2018). Bioetanol dan biodiesel sendiri merupakan bentuk populer dari biofuel. Biofuel dianggap sebagai salah satu alternatif pengganti bahan bakar fosil karena biofuel lebih ramah lingkungan. Salah satu biofuel yang tengah dikembangkan saat ini berbahan dasar dari mikroalga, biasanya dikembangkan dalam bentuk biodiesel.
Mikroalga pada umumnya merupakan tumbuhan berukuran mikroskopik (diameter antara 3-30 μm) yang termasuk dalam kelas alga dan hidup sebagai koloni maupun sel tunggal di seluruh perairan tawar maupun laut (Amini, 2010). Morfologi mikroalga berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada pembagian fungsi organ yang jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang membedakan mikroalga dari tumbuhan tingkat tinggi (Romimohtarto, 2004). Salah satu spesies mikroalga yang cukup dikenal sebagai bahan biodiesel adalah Botryococcus braunii, merupakan tanaman sel tunggal berwarna hijau, banyak dijumpai di danau, tambak, perairan payau sampai laut (Metzger & Largeau, 2005).
Mikroalga merupakan kelompok organisme yang sangat beragam dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai sumber pangan dan bahan kimia lainnya. Kandungan senyawa pada mikroalga bervariasi tergantung dari jenisnya, faktor lingkungan, dan nutrisinya. Menurut Pratoomyot et al. (2005), keragaman spesies mikroalga akan membuat kandungan asam lemak pada mikroalga juga bervariasi. Asam lemak yang bervariasi pada mikroalga itulah yang dapat dimanfaatkan untuk biodiesel. Biodiesel merupakan campuran dari alkali ether dan asam lemak yang diperoleh dari proses transesterifikasi minyak nabati atau minyak hewani (Shahzad et al., 2010).
Salah satu keunggulan dari mikroalga adalah kebutuhan lahan yang relatif lebih kecil dibandingkan tanaman energi lainnya. Potensi mikroalga sebagai sumber energi memiliki banyak kelebihan diantaranya cocok dikembangkan di daerah tropis dengan laut yang luas seperti di Indonesia, produksinya melimpah dan budidaya relatif mudah.
Produksi mikroalga membutuhkan ketersediaan karbon dioksida dan intensitas sinar matahari yang cukup.Adanya global warming dan climate change akibat aktivitas otomotif dan industri telah menyebabkan menumpuknya karbon dioksida di udara, oleh sebab itu dengan mengembangkan produksi mikroalga di Indonesia akan memberikan dampak positif yaitu menurunkan efek rumah kaca .
Hasil penelitian para pakar telah menemukan bahwa minimal 14 spesies mikroalga potensial untuk menghasilkan biodiesel dengan kandungan minyak didalamnya berkisar 15-77% bobot kering. Perkiraan biomassa yang dihasilkan untuk 1 media tanam adalah 1 kg biomassa berat kering. Berdasarkan estimasi tersebut, maka lahan 1 Ha yang setara dengan 10.000 akan menghasilkan 10.000 kg biomassa dan apabila dilakukan ekstraksi, akan diperoleh biodiesel antara 1.500 s/d 7.700 L (Chisti, 2007). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa untuk memproduksi 100 ton biomassa dibutuhkan 183 ton karbon dioksida. Untuk menghasilkan biomassa secara komersial maka karbon dioksida harus disuplai secara terus menerus agar jumlah dan kualitas mikroalga yang dihasilkan tetap terjamin (Molina et al., 1999).
Selain diekstrak minyaknya untuk bahan pangan maupun non pangan. Mikroalga telah digunakan untuk dunia industri seperti pembangkit tenaga listrik “bioenergy”. Selain, itu limbah ekstraksi minyak masih dapat digunakan untuk memproduksi gas metana atau etanol melalui proses fermentasi serta limbah dari hasil proses fermentasi tersebut juga dapat digunakan untuk pakan ternak.
Mikroalga merupakan sumber energi terbarukan yang dapat mensubstitusi sebagian energi fosil. Namun, biomassa dalam produksinya membutuhkan pemupukan yang tepat dan karbon dioksida yang banyak terdapat pada sisa pembakaran. Diperlukan sebuah bioreaktor untuk memperoleh karbon dioksida diudara atau menggunakan sisa pembakaran seperti pembangkit listrik tenaga batubara. Diluar dari tantangan produksi, Mikroalga sangat potensial mengingat pengembang biakannya tidak memerlukan teknologi yang tinggi karena hidup mikroalga sangat bergantung pada intensitas cahaya dan keadaan nutrisi. Selain itu, mikroalga dapat dipanen setiap hari.
Tahapan produksi biodiesel mikroalga
Terdapat empat proses utama dalam produksi biodiesel dari mikroalga yaitu (a) pengembangan dan kultivasi mikroalga, (b) pemanenan dan dehidrasi dari biomassa, (c) ekstraksi minyak dari biomassa dan (d) konversi minyak ke biodiesel.
1. Pengembangan dan kultivasi mikroalga
Dalam pengembangan dan kultivasi mikroalga ada beberapa parameter yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dari mikroalga yang akan digunakan, seperti intensitas cahaya, kadar pH dari media yang digunakan, temperatur, nutrisi, karbon, fosfor dan berbagai macam makro dan mikronutrien. Semua parameter tersebut harus dapat dikontrol sesuai dengan kondisi optimal yang dibutuhkan oleh spesies mikroalga yang akan dikultivasi. Tingkat kesulitan untuk mengontrol parameter tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem kultivasi yang akan digunakan.
Secara umum terdapat dua metode kultivasi mikroalga, open pond dan closed photobioreactor (Costa & de Morais, 2014). Kultivasi menggunakan sistem open pond merupakan jenis kultivasi yang paling dapat diterapkan di industri karena sistem kultivasi ini memiliki biaya investasi dan operasional yang rendah. Namun sistem ini memiliki produktivitas biomassa yang rendah, hal tersebut disebabkan karena sulitnya mengontrol kondisi operasi dari sistem terbuka. Parameter seperti intensitas cahaya, temperatur dan karbon akan lebih sulit dikontrol pada sistem ini (Suh & Lee, 2003).
Berbeda dengan sistem kultivasi open pond, pada sistem photobioreactor produktivitas jauh lebih tinggi. Tingginya produktivitas disebabkan karena pada sistem ini kondisi operasi lebih mudah dikontrol dan fotosintesis dari mikroalga juga lebih tinggi (Wang et al., 2012). Namun, sistem ini belum layak secara ekonomi apabila akan diterapkan dalam skala industri. Tingginya biaya investasi dan operasional membuat sistem ini belum banyak digunakan. Selain itu tidak semua mikroalga dapat dikultivasi menggunakan sistem ini, hanya spesies tertentu yang dapat digunakan pada sistem ini (Harun et al., 2010).
2. Pemanenan dan pengeringan mikroalga
Pemanenan dan pengeringan mikroalga merupakan proses yang sangat penting dalam produksi biodiesel dari mikroalga. Mikroalga yang akan digunakan untuk bahan baku biodiesel harus memiliki konsentrasi sebesar 20 g/L-1 sebelum nantinya diekstrak minyaknya. Konsentrasi mikroalga yang baru saja dipanen sekitar 0.2 – 2 g/L-1 (Dineshkumar et al., 2017), maka dari itu mikroalga yang baru dipanen perlu dikeringkan terlebih dahulu untuk meningkatkan konsentrasinya.
Proses pengeringan secara teknis masih cukup sulit dilakukan dan belum terlalu efisien, mikroalga yang biasanya digunakan untuk biofuel biasanya berukuran sangat kecil dan kurang efektif apabila dikeringkan hanya dengan menggunakan metode filtrasi (Dineshkumar et al., 2017). Untuk melakukan pengeringan yang efektif biasanya pengeringan dilakukan dengan menggunakan dua tahapan proses. Tahapan pertama menggunakan flokulasi yang bertujuan untuk menggumpulkan sel mikroalga sehingga ukuran partikelnya meningkat. Selanjutnya pada tahapan kedua mikroalga sudah dapat dikeringkan dengan metode konvensional seperti sentrifugasi, filtrasi dan sedimentasi (Dineshkumar et al., 2017).
3. Ekstraksi lipid
Belum ada teknologi yang benar-benar efisien untuk melakukan ekstraksi lipid dari mikroalga. Ekstraksi konvensional yang biasa digunakan pada produksi biodiesel tidak cocok digunakan pada mikroalga. Contohnya ekstraksi menggunakan teknik mechanical crushing, ukuran mikroalga yang kecil dan tingginya kandungan air membuat mikroalga akan mengalir melewati celah pada mesin (Mata et al., 2012). Ekstraksi menggunakan pelarut atau in situ juga tidak dapat digunakan karena kuatnya dinding sel pada mikroalga (Ehimen et al., 2010).
Salah satu metode yang paling memungkinkan untuk digunakan adalah ekstraksi menggunakan sistem co-solvent lipid extraction. Pada ekstraksi ini pelarut polar dan pelarut non-polar digunakan secara bersamaan. Konsep kerja dari ekstraksi ini adalah pelarut polar nantinya akan merusak ikatan antara lipid dengan protein, di sisi lain pelarut non-polar akan berinteraksi dengan lipid yang memiliki sifat hidrofobik (Mata et al., 2012).
4. Konversi
Lipid yang telah diekstraksi dari mikroalga dapat dikonversi menjadi biodiesel menggunakan metode transesterifikasi konvensional. Walaupun metode transesterifikasi sudah sangat umum digunakan dalam produksi biodiesel, metode ini masih memiliki beberapa kelemahan seperti lamanya waktu konversi dan juga rumitnya proses separasi setelah reaksi (Mata et al., 2012). Salah satu metode yang berpotensi untuk menggantikan metode transesterifikasi konvensional adalah metode in situ transesterification.
Referensi
Amini, S. (2010). PRODUKSI BIODIESEL DARI MIKROALGA Botryococcus braunii 5, 10.
Basmal. Jamal. (2008). Peluang dan Tantangan Produksi Mikroalga Sebagai Biofuel. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Vol 3 No. 1.
Chisti. Y., (2007). Biodiesel from Microalgae. Institute of Technology and Engineering, Massey University. Biotechnology Advances 25 294–306.
Costa, J. A. V., & de Morais, M. G. (2014). Chapter 1 – An Open Pond System for Microalgal Cultivation (A. Pandey, D.-J. Lee, Y. Chisti, & C. R. B. T.-B. from A. Soccol (eds.); pp. 1–22). Elsevier. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-444-59558-4.00001-2
Dineshkumar, R., Narendran, R., & Sampathkumar, P. (2017). Cultivation and harvesting of micro-algae for bio-fuel production – a review. Indian Journal of Geo-Marine Sciences, 46(9), 1731–1742.
Ehimen, E. A., Sun, Z. F., & Carrington, C. G. (2010). Variables affecting the in situ transesterification of microalgae lipids. Fuel, 89(3), 677–684. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.fuel.2009.10.011
Harun, R., Singh, M., Forde, G. M., & Danquah, M. K. (2010). Bioprocess engineering of microalgae to produce a variety of consumer products. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14(3), 1037–1047. https://doi.org/10.1016/j.rser.2009.11.004
Mata, T. M., Martins, A. A., & Caetane, N. S. (2012). Microalgae processing for biodiesel production. Advances in Biodiesel Production: Processes and Technologies, February, 204–231. https://doi.org/10.1016/B978-0-85709-117-8.50009-5
Metzger, P. and Largeau, C. (2005). Botryococcus braunii: a rich source for hydrocarbons and related ether lipids. Application Microbiology Biotechnology. (66) 5: 486–496.
Molina., Grima, E., Acién., Fernández, F.G., García Camacho, F., and Chisti, Y. (1999). Photobioreactors: light regime, mass transfer and scaleup.J.Biotechnol. 70 : 231–47.
Patil, V., Tran, K.Q., and Giselrod, H.R. (2008). Towards sustainable production of biodiesels from microalgae. Int. J. Mol. Sci. (9): 1158–1195.
Pratoomyot, J., Srivilas, P., and Noiraksar, T. (2005). Fattyacids composition of 10 microalgal species. Songklanakarin J. Sci. Technol. 26 (6): 1179–1187.
Romimohtarto, K. (2004). Meroplankton Laut: Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Djambatan: Jakarta. 214 pp.
Shahzad, I., Hussain, K., Nawaz, K., and Nisar, M.F. (2010). Review algae as an alternative and renewable resource for biodiesel production.
Suh, I. S., & Lee, C. G. (2003). Photobioreactor engineering: Design and performance. Biotechnology and Bioprocess Engineering, 8(6), 313–321. https://doi.org/10.1007/BF02949274
Wang, B., Lan, C. Q., & Horsman, M. (2012). Closed photobioreactors for production of microalgal biomasses. Biotechnology Advances, 30(4), 904–912. https://doi.org/10.1016/j.biotechadv.2012.01.019
Widodo, L., Ihsan, I.M., Santoso, D.A.D., (2018). Profitabilitas Biodiesel dari Biomasa Mikroalga Biodiesel Profitability of Microalgae Biomass 19, 8.