Oleh : Andhy Muhammad Fathoni
Berbicara mengenai pemanasan global tidak akan lepas dari naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer bumi. CO2 berperan sangat penting dalam efek rumah kaca yang disebut-sebut sebagai penyebab utama pemanasan global. CO2 sendiri pada dasarnya adalah produk alami dari suatu reaksi pembakaran. Tidak dapat dipungkiri, pembakaran bahan bakar fosil menjadi sumber utama penghasil emisi CO2 di bumi.
Sebelum revolusi industri dimulai, konsentrasi gas CO2 di atmosfer sama dengan 280 ppmv (parts per million by volume). Saat itu, kehidupan masih menggunakan tenaga manusia. Bahkan sudah mulai digunakan beberapa jenis energi terbarukan seperti energi air untuk memudahkan pekerjaan sehari-hari. Hal itu berubah total ketika James Watt, anak seorang ahli instrument galangan kapal, menemukan mesin uap pertama kali di Glasgow. Industri pertama yang menggunakan mesin uap adalah industri pertambangan di Birmingham, Inggris. Sejak saat itu, dimulailah revolusi industri. Sumber-sumber mineral dikeruk dari perut bumi dan dijadikan sumber energi utama. Boleh dibilang, energi fosil sangat mudah didapat dan sangat murah. Hal ini secara tidak langsung memaksa manusia menggunakan energi fosil tanpa memikirkan akibatnya lebih jauh. Alhasil, kenaikan kadar CO2 tidak bisa dihindari. Sampai tahun 1992 konsentrasinya naik menjadi 355 ppmv. Berarti ada kenaikan 30 persen dibandingkan keadaan sebelum revolusi Industri.
Saat ini, Pembangkit Listrik menjadi sumber utama penghasil CO2. Hal ini disebabkan ketergantungan yang berlebihan terhadap batubara. Industri pembangkitan listrik menyumbang 37 % emisi CO2 global. Angka ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun karena industri satu ini adalah industri yang sangat cepat berkembang. Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Cina dan India, pemakaian listrik naik hampir 1 % tiap tahun. Diperkirakan, dalam 20 tahun, Negara-negara berkembang akan menyumbang 44% dari pembuangan total CO2 ke atmosfer bumi. Sebuah peningkatan yang cukup besar mengingat angka saat ini sekitar 27-28%.
Dunia Industri manufaktur juga menyumbang emisi CO2 dalam jumlah besar. Penemuan mesin pembakaran internal di tahun 1970-an ikut memicu permintaan terhadap minyak bumi. Suatu bahan bakar cair dengan kandungan energi yang sangat tinggi. Ironisnya, dunia manufaktur telah menelurkan alat-alat yang berujung pada kasus pemborosan. Ambil contoh, mobil dan motor. Sebagian besar reaksi kimia pembakaran bensin pada motor dan mobil bukan diubah untuk menggerakkan piston tapi dibuang sia-sia sebagai panas. Hal ini pulalah yang menyebabkan kemacetan di kota-kota besar ikut andil dalam pembuangan CO2 dalam kadar tinggi. Sistem motor listrik mengindikasikan efisiensi yang lebih baik daripada motor bensin. Sayangnya, 99% kendaraan di dunia didominasi oleh teknologi motor bensin.
Dalam 100 tahun terakhir, emisi CO2 mengalami kenaikan sebesar 2,5 % setiap tahun dan diperkirakan akan meningkat 3 tiga kali lipat dari keadaan saat ini. Konsentrasi CO2 juga diperkirakan akan meningkat mencapai 500 sampai 600 ppmv pada pertengahan abad 21. Peningkatan ini cenderung tidak berhenti karena didukung penyusutan hutan yang cukup besar. Para ahli meyakini bahwa penyusutan hutan menyumbang 23% kenaikan CO2. Prediksi terakhir dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Working Group 1 ( IPCC Working Group 2; 2001) sendiri menyatakan bahwa sejalan dengan kenaikan kadar CO2 di atmosfer bumi, akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan terhadap keadaan tahun 1990 sebesar 1,4-5,8oC sampai tahun 2100 dengan keragaman yang berbeda secara regional.
Negara-negara besar menjadi “terpidana” dalam kasus “sumbang-menyumbang” CO2 di atmosfer. Dalam daftar 10 besar negara pengemisi CO2 (data wikipedia.org) terdapat Amerika serikat, Republik Rakyat China, Rusia, India, Jepang, Jerman, Inggris Raya, Kanada, Korea dan Italia. AS menyumbang 20% (sekitar 4,8 milyar metric-ton). Penelitian dengan indicator lain berupa emisi per kapita tetap menunjukkan bahwa peran AS adalah yang tertinggi.
Indonesia sendiri sedikit beruntung dengan “hanya” berada di posisi ke-19 setelah sebelumnya bertengger di urutan 23. Dari studi yang dikutip dari World Bank (1994) menunjukkan peran Indonesia pada tahun 1989 sebesar 1,6-1,7% dengan jumlah sebesar 85 juta ton. Diprediksikan, angka ini akan meningkat drastis mencapai 860 juta ton pada tahun 2020.
Sebuah hal yang patut untuk dicermati, pemanasan global memiliki dampak yang sangat buruk bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Kenaikan permukaan air laut bisa menghempaskan pulau-pulau rendah dan mengubahnya menjadi lautan dangkal.