Jumat, 26 Juni 2015 bertempat di Pusat Studi Energi UGM, Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (Kamase) UGM kembali menyelenggarakan acara bincang-bincang dan diskusi seputar isu hangat tentang energi, Energy Talk. Energy Talk, yang merupakan kali kedua kegiatan ini diselenggarakan mengusung tema “Politik Energi di Bidang Migas : Keadaan Sebenarnya Migas di Indonesia dan Kajian Kebijakan Pemerintah di Bidang Migas” . Acara yang menghadirkan dua narasumber berkompetensi yakni Dr. Ir. Jarot Setyowiyoto, M.Sc. selaku dosen spesialis petroleum geology Teknik Geologi UGM dan Prof. Purwo Santoso, MA., Ph.D selaku ketua jurusan politik pemerintahan UGM serta dihadiri sebanyak 25 peserta ini berlangsung secara interaktif dan sesuai dengan tema yang diusung.
Sebagai pemantik diskusi dan sesi penyampaian materi, Fiki Rahmatika Salis selaku moderator dalam acara ini menuturkan bahwa minyak bumi dan gas (migas) merupakan komoditas energi yang saat ini masih saja menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia. Tingginya konsumsi migas oleh masyarakat Indonesia dan ditambah dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang begitu cepat mengakibatkan negara harus mengimpor migas setiap tahunnya. Pada tahun 2014, tercatat impor migas Indonesia mencapai angka 850 ribu barel per hari (bph). Jumlah tersebut tidak dapat dikatakan sedikit, mengingat letak geografis Indonesia yang seharusnya memiliki keuntungan dalam potensi sumber daya migas.
Pada sesi materi pertama yang disampaikan oleh Pak Jarot, informasi mengenai kondisi migas di Indonesia tersebut memang benar. Pak Jarot yang juga pernah menjadi salah satu geology analist di sebuah perusahaan minyak menuturkan, “ Secara geologis, gerakan lempeng yang melintasi hampir seluruh wilayah Indonesia menimbulkan tekanan dan temperatur yang memadai untuk terbentuknya bahan-bahan bakar fosil serta sumber energi panas bumi. Hal ini menjadi potensi bisnis migas di Indonesia baik di hulu maupun di hilir cukup menjanjikan. Akan tetapi, bisnis migas di sektor hulu dapat disebut sebagai bisnis gambling. Pasalnya, pelaksanaan bisnis ini memiliki high cost, high technology, high risk, tetapi juga high revenue.”
Nasionalisme dalam Migas
Nasionalisme dalam Migas, sebuah paham yang idealnya dapat diwujudkan dengan kemandirian negara dalam mengolah blok-blok migas. Akan tetapi faktanya pemerintah dalam hal ini BUMN penyelenggara migas Indonesia, PT. Pertamina belum memiliki modal dan mental yang mencukupi untuk mengelola wilayah kerja migas yang ada. Berdasarkan data yang ada, dari 293 wilayah kerja migas yang dimiliki Indonesia saat ini, hanya 74 yang telah menjadi area produksi, sedangkan sisanya sebanyak 194 masih berada dalam tahapan eksplorasi. Dengan gambaran keadaan di Indonesia tersebut, Pak Jarot yang juga pernah menjadi tim evaluator migas Kementerian ESDM ini menyimpulkan bahwa ada dua hal yang saat ini setidaknya dapat mewakili nasionalisme dalam migas. Pertama, mendatangkan investor sebanyak-banyaknya dan menciptakan iklim persaingan yang sehat dalam bisnis migas. Kedua, menuntut tanggung jawab investor untuk mengajari putra-putri bangsa pada sektor hulu migas dan tidak memperpanjang kontrak asing yang akan habis. “Sebagai kekuatan pendukung untuk menghadapi era migas ke depannya, selain memaksimalkan sumberdaya migas conventional, pemerintah Indonesia juga harus bergerak strategis untuk bisa bersaing dalam persaingan eksplorasi migas unconventional, seperti Coal Base Methane (CBM), Shale Gas, Tight Sand Gas, dan Hydrate Gas,” tambah Pak Jarot.
Sesi penyampaian materi kedua diisi oleh salah satu Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Pak Purwo. Sesi ini dibuka dengan sebuah pernyataan optimisme dari beliau, “Walaupun korupsi di negeri ini merajalela, tetapi kita masih harus bersyukur bahwa stabilitas politik Indonesia masih terkendali. Tidak seperti beberapa negara di Afrika maupun Timur Tengah yang secara sumber daya terbukti kaya minyak dan gas, tetapi terjadi konflik bahkan teradu domba melalui perang saudara,”. Beliau juga menuturkan bahwa isu lingkungan khususnya migas menjadi mutlak untuk diperhatikan baik dalam eksplorasi, eksploitasi, maupun regulasi mengenai migas, mengingat keterkaitannya dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Banyaknya kasus hukum dalam penyelenggaraan migas di Indonesia, seperti isu mafia migas, dilema subsidi BBM, derasnya tekanan pemilik modal, dan kondisi Indonesia yang baru sebatas menjadi pasar di bidang otomotif, menuntut pemerintah agar segera membenahi regulasi ataupun tata kelola migas di Indonesia. Perlu adanya kebijakan kebijakan pemerintah yang imajinatif tetapi terukur dan dapat berdampak jangka panjang untuk meminimalisir kasus kasus tersebut. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah untuk mendidik rakyatnya belajar menghemat dan mengefisiensikan penggunaan energi terutama migas atau BBM.
Berbicara mengenai nasionalisme dalam migas, menurut beliau nasionalisme harus dimiliki oleh seluruh rakyat melalui penjabarannya di setiap profesi masing-masing secara konstektual mengikuti perkembangan zaman untuk bersama-sama membangun kedaulatan dengan segala sesuatu yang telah dianugerahkan kepada kita. Bentuk yang paling realistisnya adalah menggunakan dan menghemat energi di negeri sendiri seefektif dan seefisien mungkin.
Menyikapi Tantangan Migas ke Depan
Pada sesi diskusi, sebuah pertanyaan mengenai sikap yang harus kita ambil kaitannya dengan tantangan migas diajukan oleh salah satu peserta. Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, menurut Pak Jarot tantangan migas ke depan adalah bagaimana pemerintah dapat memberikan insentif agar para investor asing berkenan menanamkan sahamnya di Indonesia dengan memberlakukan production sharing contract yang menguntungkan Indonesia dan mengarahkan kesiapan Indonesia untuk mengelola sendiri setelah masa kontrak berakhir. Selain itu dari sisi teknis, tantangan tersendiri bagi para engineer Indonesia untuk terlepas dari kebergantungan pada perusahan oil service asing. Setidaknya dapat meniru cara Tiongkok dalam membuat perangkat-perangkat eksplorasi (hardware & software) dengan kualitas menengah ke bawah. Dari sisi politik, menurut Prof. Purwo, tantangan migas ke depan tentu saja ada pada kebijakan perundang-undangan migas yang harus berpihak pada rakyat, dan diperlukan pula kecerdasan pemerintah dalam melihat tren supply and demand migas, serta tidak lupa kesadaran rakyat untuk selalu mengawal arah kebijakan pemerintah.
Idealisme Teknokrat yang Bersih
Pada sesi diskusi berikutnya, sebuah pertanyaan tentang cara mengantisipasi godaan pelanggaraan hukum yang mendera prakitisi energi dari bidang engineering ataupun scientific ketika mereka berkecimpung di dunia birokrasi pemerintahan diajukan sebagai penutup acara Energy Talk. Menurut Pak Jarot, peran utama pertahanan individu dalam kasus ini terdapat pada kekuatan moral yang bersumber dari nilai-nilai agama yang dipercayai. “Cara lain untuk meminimalisir godaan tersebut adalah membangun jaringan seluas-luasnya agar kita tidak mudah ditekan. Sebaliknya, kita dapat memperoleh kekuatan untuk menekan balik dan memberi warning pada penggoda pelanggaraan hukum bahwa itu salah,” tambah Pak Jarot.
Redaksi : Nazih Nauvan L